Masih Pentingkah “Beragama”?
Orang bilang agama itu biang masalah.
Orang bilang agama itu hanyalah relasi dengan Tuhan.
Orang bilang negara sudah tak aman, karena agama jadi pedoman.
Haruskah agama disingkirkan?
Tulisan ini akan membahas realitas kehidupan beragama di Indonesia, terutama kaitannya dengan politik, serta merebaknya isu SARA di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Tulisan ini akan menjawab pertanyaan: Apakah orang beragama memiliki tendensi politik keagamaan? Apakah pemahaman keagamaan adalah bencana bagi kehidupan bernegara di Indonesia? Apakah agama akan membawa orang bahagia, jauh dari korupsi, dan sikap toleran? Serta apakah prinsip ketuhanan dalam ideologi kebangsaan masih perlu dipertahankan?
Untuk mengulas hal tersebut, saya menggunakan data survey sebanyak 49.160 orang penduduk dari seluruh Indonesia. Ordered probit model digunakan untuk mengestimasi data statistik. Untuk memudahkan pembaca, tulisan ini akan menyampingkan kaidah struktur penulisan akademik, tanpa mengurangi esensi ilmiah dari kajian yang dilakukan.
1. Apakah orang beragama memiliki tendensi politik keagamaan?
Menjawab pertanyaan ini, saya menggunakan dependent variabel diantaranya; (i) kecenderungan untuk memilih kandidat politik dari agama yang sama, serta (ii) kecenderungan untuk memilih calon pemimpin berdasarkan tingkat keagamaannya (alim atau tidak).
Tabel 1 dan 2 (equation 1) menunjukkan bahwa tingkat religius seseorang sangat mempengaruhi pilihan politiknya. Dengan kata lain, orang yang paling religius akan semakin memilih pemimpin yang paling religius serta dari agama yang sama. Sebaliknya, orang yang tingkat religiusnya rendah tidak terlalu memperhitungkan apa agama dan tingkat religius kandidat pemimpin yang akan dipilihnya.
Poin pentingnya lainnya adalah, pilihan politik berdasarkan persepsi keagamaan terjadi di seluruh umat beragama di Indonesia. Model 2-5 membuktikan bahwa baik umat Islam, Katolik, Protestan, maupun Hindu yang paling religius cenderung memilih pemimpin yang seagama dan/atau pemimpin yang paling religius, begitu juga sebaliknya.
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa variabel tingkat religius tidak berdiri sendiri. Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa pilihan politik berdasarkan faktor keagamaan juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial, tempat tinggal, tingkat pendidikan, bahkan jenis pekerjaan. Sebagai contoh, terdapat kecenderungan orang-orang di perkotaan tidak terlalu mementingkan persoalan agama dalam memilih pemimpin. Sedangkan orang-orang di pedesaan masih melihat faktor agama sebagai faktor penting dalam menentukan pilihan (equation 1).
Disamping itu, fakta menunjukkan bahwa pilihan untuk memilih pemimpin yang religius dan seagama juga sangat bergantung dengan tingkat pendidikan seseorang. Terdapat kecendrungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, mereka akan semakin mempertimbangkan faktor-faktor lain selain prinsip-prinsip keagamaan.
Bagi orang-orang yang religius dan berpendidikan tinggi, meskipun mereka melihat agama dan tingkat religius sebagai salah satu faktor, tetapi itu hanyalah salah satu diantara banyak faktor lain, seperti: kapasitas pemimpin, latar belakang pendidikan, kesantunan, komunikasi politik, track record, dll.
Tabel 1
Tabel 2
2. Apakah pemahaman keagamaan adalah bencana bagi kehidupan bernegara di Indonesia?
Persepsi tentang sejauhmana peran agama dalam kehidupan bernegara telah menjadi perdebatan sengit dalam beberapa tahun terakhir. Namun demikian, saya percaya bahwa founding father kita telah meletakkan gagasan sempurna tentang bagaimana seharusnya bangsa ini berdiri. Pemahamannya jelas, bahwa prinsip ketuhanan dan keagamaan adalah landasan utama dalam perjalanan bangsa.
Pendiri bangsa kita percaya, bahwa agama adalah jiwa bagi kehidupan bernegara. Nilai-nilai keagamaan dianggap mampu membentuk karakter masyarakat yang jujur, santun, serta mengutamakan persatuan ketimbang perpecahan. Itulah kenapa, hingga detik ini saya selalu percaya, bahwa agama bukanlah bencana bagi demokrasi di Indonesia, tetapi sebaliknya, agama justru bisa membentuk karakter masyarakat Indonesia yang demokratis.
Tabel 3 (equation 2) menunjukkan bahwa orang yang paling religius cenderung menjadi pribadi yang penolong. Karakter ini sebetulnya sudah ditunjukkan oleh berbagai tokoh bangsa ini, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.
Kita tidak boleh lupa, bangsa ini merdeka karena diperjuangkan oleh orang-orang yang berbeda suku, ras, dan golongan. Saya yakin saat itu banyak pejuang yang percaya bahwa agamalah yang mengajarkan prinsip saling tolong-menolong dan mengenyampingkan permusuhan. Dengan logika ini, saya juga meyakini bahwa mereka yang tidak toleran, serta mereka yang mengganggu hak-hak kebebasan umat beragama lainnya, justru adalah cerminan dari orang-orang yang tidak beragama.
Tabel 3
3. Apakah agama akan membawa seseorang jauh dari korupsi?
Kritik yang selama ini sering dialamatkan bagi kelompok “religius” adalah anggapan bahwa agama tidak menentukan baik-buruk seseorang dalam menjalankan sistem pemerintahan. Pernyataan yang semakin sering kita dengar: “banyak kok yang munafik, tampang beragama, tapi ujung-ujungnya masuk penjara karena korupsi, omong kosong itu agama”
Sekali lagi, penting untuk dicatat, agama hanyalah tuntunan, apapun yang terjadi dalam hidup kita adalah risiko dari setiap pilihan hidup yang kita lakukan. Sederhananya, selama kita mengikuti ajaran agama, hidup kita akan bahagia dan jauh dari kejahatan dan kemaksiatan.
Data statistik pun menunjukkan demikian. Tabel 3 (equation 1) membuktikan bahwa orang yang beragama merasa lebih bahagia dengan hidup dan harta yang dimilikinya. Mereka yang religius merasa sudah bahagia dengan apa yang diberikan Sang Pencipta dan mensyukuri kehidupannnya. Data ini sekaligus menunjukkan bahwa orang beragama, cenderung jauh dari sikap serakah dan perilaku korupsi.
Bagaimana dengan orang yang “tampak beragama tapi korupsi”? Didalam statistik, ada yang namanya outlier, yaitu data yang berbeda dari kelompoknya. Biasanya, statistician harus membuang data outlier tersebut untuk mendapatkan data yang akurat. Begitu juga seharusnya dalam menyikapi persoalan ini. Kita tidak bisa secara prematur menyimpulkan bahwa agama adalah masalah, hanya dengan melihat 1 atau 2 orang tokoh agama yang tertangkap korupsi. Tetapi, kita harus membangun kesimpulan dengan pemahaman yang utuh dan komprehensif.
Oleh karena itu, tidak ada yang salah jika masyarakat masih menjadikan faktor agama sebagai salah satu faktor dalam menentukan pilihan politiknya, karena kenyataannya orang yang beragama cenderung lebih humanis dan menjauhi perbuatan melanggar hukum. Hanya saja, masyarakat harus benar-benar cerdas dalam menganalisa kualitas calon yang akan dipilih. Pada saat yang sama, jujur dan baik hati tentu tidak cukup, kita juga perlu pemimpin yang cerdas, kompeten, santun, berwibawa dan pro rakyat.
Sehingga pendidikan politik mutlak diperlukan. Demokrasi yang kuat selalu diikuti oleh kematangan berpolitik. Kita bisa belajar dari proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang berawal dari provokasi, information failure serta gerakan politik yang menjerumuskan. Alhasil sebagian besar masyarakat Inggris justru menyesali keputusannya mendukung Inggris keluar dari Uni Eropa. Masyarakat jelas harus mampu menilai dengan hati-hati kandidat pemimpin yang akan dipilih.
Terakhir, yang perlu digarisbawahi, jangan sampai kita terburu-buru mempersepsikan agama sebagai biang masalah, karena hal itu bisa menjadi bumerang bagi tatanan sosial kemasyarakatan. Tanpa kita ketahui, negara asing memasang ribuan mata-mata untuk menganalisa tingkat religiusitas masyarakat Indonesia. Tujuannya jelas, bagaimana agar nilai-nilai ketuhanan bisa dihilangkan secara perlahan dalam kehidupan bernegara.
Mereka, bangsa asing tidak akan pernah mengerti bahwa falsafah bangsa ini berbeda. Nilai keagamaan adalah jantung hati setiap masyarakat Indonesia. Lebih penting lagi, agama di Indonesia bukan sekedar simbol, tetapi pilin-memilin dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia.
Sedihnya, banyak tokoh bangsa ini berhasil terprovokasi, malah menganggap prinsip beragama sebagai keyakinan tertutup dan mencoba menghilangkannya secara perlahan. Ketika keyakinan beragama dipisahkan dari dalam kehidupan, justru hal ini bisa memicu perilaku asosial, kejahatan sistemik, dan perilaku koruptif. Keyakinan yang justru berseberangan dengan para pendahulu bangsa ini.
Notes
- ***, ** dan * adalah koefisien significantly different from zero at 1, 5 and 10 % level, Standard errors in parentheses.
- Hasil diatas sudah melewati robustness check, dengan menguji model regresi yang berbeda, mengestimasi kemungkinan sample selection bias, melakukan boostrap standard errors, dan menggunakan beberapa variasi dependent variable untuk menghindari kesalahan pengukuran variabel.
- Tingkat religius diukur dengan pertanyaan: Seberapa religiuskah anda?
- Tingkat kebahagiaan diukur dengan pertanyaan: Seberapa puas dan bahagia anda dengan kehidupan saat ini?
- Kelompok agama Budha pada table 1 dan 2 tidak signifikan, berkemungkinan karena keterbatasan sampel (89 orang).
Keterbatasan studi:
- Tidak ada pengukuran absolut untuk menentukan tingkat keagamaan seseorang. Variabel independen lainnya dipilih berdasarkan pertimbangan aspek sosial masyarakat Indonesia, ketersediaan data, dan kajian literatur.
- Data diambil pada tahun 2014, sehingga tidak menangkap aspek psikologis pasca pemilihan gubernur DKI Jakarta.