Uang Dari Langit
Sebanyak 565 keluarga penerima Program Keluarga Harapan (PKH) menyerbu Kantor Pos Pagar Alam. Ibu-ibu yang menggendong anaknya hingga para lansia ikut berdesakan di dalam antrian. Uang tersebut diharapkan bisa mengurangi beban kemiskinan yang mereka hadapi.
Jauh sebelum Indonesia menerapkan PKH, program biaya langsung untuk rakyat miskin atau dikenal dengan Conditional Cash Transfer (CCT) telah menjadi andalan di berbagai negara di dunia untuk menekan angka kemiskinan. Skema ini memberikan uang kepada masyarakat miskin dengan syarat tertentu. Seperti, mewajibkan penerima untuk memeriksakan kesehatan anaknya secara rutin, serta mewajibkan anaknya untuk menempuh jenjang pendidikan tertentu.
Berbagai riset menunjukkan bahwa program ini terbukti efektif memutus rantai kemiskinan. Akan tetapi, PKH tidak bisa serta merta menjadi senjata pamungkas untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Salah satu alasannya karena adanya perbedaan karakteristik kemiskinan di pedesaan dan di perkotaan. PKH memang cukup efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di pedesaan, khususnya untuk pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, serta kesehatan dasar. Dana sekitar Rp 160 ribu per bulan sangat membantu meringankan beban masyarakat miskin di desa.
Namun demikian, tidak seperti di pedesaan, kemiskinan di perkotaan lebih identik pada persoalan keterbatasan kemampuan untuk mengakses perumahan yang layak, narkoba, hingga eksploitasi anak. Persoalan kemiskinan di perkotaan memerlukan intervensi yang lebih dari sekedar memberikan uang. Dibutuhkan adanya terobosan hukum, subsidi perumahan, hingga keberpihakan terhadap kepentingan buruh. Jumlah dana PKH sekitar Rp 160 ribu per bulan juga tidak akan berdampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin kota, terutama karena inflasi dan tingginya biaya hidup.
Data tentang tren kemiskinan di Indonesia selama tiga tahun pemerintahan Presiden Jokowi membuktikan fenomena ini. Secara umum, tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia tidak mengalami perubahan berarti. Jika ditelaah lebih detail, angka kemiskinan memang terlihat mengalami penurunan untuk kawasan pedesaan, namun justru meningkat di wilayah perkotaan (data BPS per September 2014 – Maret 2017). Ini menunjukkan bahwa program pengentasan kemiskinan hanya efektif mengurangi kemiskinan di wilayah pedesaan.
Lebih dari Sekadar Uang
Penting untuk dipahami, di tengah in-efisiensi birokrasi dan maraknya praktik korupsi, memberikan uang secara langsung kepada masyarakat miskin adalah langkah yang sangat baik. Namun demikian, pemerintah harus memikirkan strategi selanjutnya.
Prasyarat utama pengentasan kemiskinan di perkotaan adalah adanya upah tenaga kerja yang layak. Program Keluarga Harapan bagi masyarakat perkotaan tidak akan berdampak signifikan apabila mereka terus terbebani oleh tingginya biaya hidup. Pemerintah perlu meningkatkan Upah Minimum Regional (UMR) secara bertahap karena saat ini rata-rata UMR di Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan di Filipina, Malaysia, dan Thailand. Peningkatan UMR terbukti sukses mengurangi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di Brazil dalam beberapa dekade terakhir.
Persoalan berikutnya yang harus diurai pemerintah adalah menyangkut transparansi penyaluran dana PKH. Terdapat berbagai temuan adanya warga yang mampu justru mendapatkan dana PKH sementara banyak masyarakat miskin malah tidak menerima. Salah satu langkah efektif untuk mengurangi penyalahgunaan dana PKH adalah dengan mengumumkan nama penerima dana di website berbagai lembaga pemerintah sehingga pengawasan juga bisa dilakukan bersama-sama dengan masyarakat.
Selanjutnya, pemerintah tidak boleh lupa bahwa menghubungkan antara conditional cash transfer dengan angka partisipasi sekolah senyatanya tidak sesederhana yang dibayangkan. Cash transfer tidak akan berdampak pada peningkatan angka partisipasi sekolah di daerah-daerah terpencil. Menjadi tidak masuk akal apabila pemerintah mensyaratkan orangtua menyekolahkan anaknya agar bisa mendapatkan dana PKH, tetapi tidak ada sekolah yang tersedia di sekitar perkampungan tempat tinggal mereka. Oleh karena itu, penyediaan fasilitas publik terutama di daerah terpencil tetap harus menjadi perhatian pemerintah.
Strategi berikutnya adalah dengan menambahkan aspek kewirausahaan di dalam PKH. Pemerintah bisa mengadopsi terobosan pemerintah Uganda dengan memberikan uang dalam jumlah tertentu pada sekelompok masyarakat miskin. Syaratnya, kelompok masyarakat miskin penerima dana tersebut diwajibkan membuat perencanaan bisnis. Strategi ini sekaligus juga bisa menepis anggapan bahwa dana cash transfer hanya mendidik masyarakat bermental pengemis.
Persoalannya, memang tidak mudah untuk mendorong masyarakat menengah ke bawah agar memiliki inisiatif bisnis. Kabar baiknya, pemerintah melalui Kementerian Sosial baru saja merekrut hingga 16.092 pendamping PKH. Para pendamping tersebut seharusnya bisa diberdayakan untuk tidak hanya mengelola dan mengawasi penyaluran dana PKH, tetapi juga melakukan pendampingan masyarakat penerima dana PKH dalam memulai usaha-usaha produktif.
Singkat kata, PKH memang sukses menyentuh masyarakat miskin. Akan tetapi, terlalu dini untuk mengatakan program tersebut benar-benar mampu mengurangi kemiskinan, terlebih lagi karena minimnya data yang tersedia untuk mengevaluasi kebijakan tersebut.
Namun yang pasti, pemerintah tidak boleh berhenti hanya sebatas menjatuhkan uang dari langit kepada masyarakat. Melainkan juga harus memastikan uang itu jatuh ke tangan yang layak. Pada saat bersamaan, pemerintah juga perlu mendorong terciptanya proses pemberdayaan sehingga uang triliunan rupiah tidak terbuang sia-sia.
Dipublish di Detik.com 16/11/2017