Kekayaan Indonesia Tersimpan di Singapura
Sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara dengan sumber daya alam melimpah, Indonesia masih mengalami kesulitan dalam memperkuat pondasi ekonominya. Meski mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan pasca era reformasi, pendapatan negara ternyata masih belum cukup kuat menopang perekonomian Indonesia yang jumlah populasinya terus meningkat mencapai 257 juta jiwa.
Banyak pengamat percaya, sebagai negara berkembang yang sangat bergantung pada pajak, Indonesia masih belum mampu meningkatkan devisa melalui sektor perpajakan.
Tudingan kemudian mengarah kepada pemerintah terkait maraknya praktek korupsi perpajakan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Mengacu pada data ICW, negara mengalami kerugian mencapai 10 triliun akibat korupsi perpajakan.
Tetapi benarkah korupsi menjadi masalah utama minimnya pendapatan Negara Indonesia? Jika dikaji lebih jauh, yang menjadi masalah utama sebenarnya bukanlah korupsi perpajakan melainkan karena Indonesia kehilangan potensi pajak penghasilan dari orang-orang kaya yang memilih memakirkan hartanya di luar negeri.
Beberapa tahun terakhir, kelas menengah Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan sehingga terjadi peningkatan beban pajak bersamaan dengan meningkatnya skala korporasi. Yang terjadi kemudian adalah, miliarder Indonesia pelan-pelan memindahkan harta kekayaan mereka ke luar negeri untuk menghindari pajak penghasilan yang lebih besar.
Singapura sebagai surga orang kaya Indonesia
Singapura sangat menyadari potensi orang kaya baru Indonesia yang tumbuh berkali-kali lipat setiap tahunnya sehingga Singapura berani menawarkan program perbankan yang lebih bervariasi, menjamin kerahasiaan nasabah dan mematok bunga bank yang relatif lebih kecil dibandingkan Indonesia.
Ditambah lagi dengan sistem ekonomi yang lebih mumpuni daripada Indonesia serta adanya stabilitas politik, Singapura menjadi negara yang sangat strategis bagi para miliarder Indonesia untuk mengamankan uangnya dan menghindari pajak penghasilan di Indonesia.
Jumlah aset kekayaan orang-orang kaya Indonesia di Singapura tidak tanggung-tanggung, mencapai 3.000 triliun rupiah dan ditenggarai berkontribusi sebesar 30 persen sektor perbankan Singapura. Nilai itu belum termasuk dana atau aset perusahaan Indonesia yang berinvestasi di Singapura. Bila ditambah uang perusahaan bisa jadi US$ 300 miliar lebih atau sekitar Rp 3.600-4.000 triliun. Jumlah yang sangat besar apabila digunakan untuk memperkuat cadangan devisa Indonesia
Bahkan, sebuah lembaga survei, Merrill Lynch-Capgemini menyebutkan sepertiga dari orang superkaya Singapura adalah warga Indonesia. Dari 55 ribu orang sangat kaya di Negeri Singa dengan total kekayaan sekitar US$ 260 miliar, 18 ribu merupakan orang Indonesia. Menariknya lagi, uang itu sebenarnya tidak berhenti di Singapura, melainkan disebar dari Singapura untuk menghidupkan aktivitas bisnisnya di Indonesia.
Sebut saja Martua Sitorus, melalui Grup Wilmar International Limited, perusahaan kelapa sawit yang memiliki pabrik Biodiesel terbesar di dunia yang terletak di Indonesia. Atau Sukanto Tanoto yang mengendalikan PT. Garuda Mas International dari Singapura. Kondisi ini kemudian melahirkan tudingan banyak pihak yang mengatakan bahwa sebenarnya faktor penggerak utama ekonomi Singapura adalah miliarder Indonesia. Dengan kata lain, para pengusaha yang melakukan aktivitas bisnisnya dengan mengeruk dalam-dalam sumber daya alam di Indonesia tetapi keuntungannya dimanfaatkan oleh negara-negara jasa seperti Singapura.
Penuh intrik dan sangat profesional
Beragam cara dilakukan oleh para pengusaha Indonesia untuk membawa lari kekayaannya dari Indonesia. Salah satunya adalah dengan menetap di Singapura sehingga secara legal tidak ada satupun aturan hukum yang dilanggar. Praktik ini sukses dilakukan oleh Sukanto Tanoto, orang terkaya kelima di Singapura yang sempat dicurigai oleh Pemerintah Indonesia sebagai dalang penggelapan pajak melalui perusahaan Asian Agri yang ditaksir merugikan pemerintah Indonesia hingga 1.3 triliun rupiah.
Cara lain yang jamak dilakukan pengusaha Indonesia untuk mengamankan uangnya di Singapura adalah dengan menggunakan jasa konsultan profesional. Miliarder-miliarder tersebut jelas masih sanggup membayar penasehat hukum dan keuangan untuk mengakali sistem perpajakan di kedua negara.
Tujuannya memang tidak secara eksplisit untuk menyembunyikan harta kekayaan, tetapi dengan memanfaatkan konsultan mereka bisa mengontrol neraca pendapatan dan dalam bentuk apa uang tersebut ditransaksikan.
Jalan terakhir adalah dengan melakukan hubungan konkalikong dengan oknum pejabat pemerintah Indonesia. Sudah banyak pengusaha Indonesia yang berdomisili di Singapura menjadi buronan pemerintah Indonesia diantaranya, Samadikun Hartono, Bambang Sutrisno, Agus Anwar, Maria Pauline Lumowa, dan Sjamsul Nursalim. Pengusaha-pengusaha hitam tersebut diyakini masih memiliki aset dan aktifitas bisnisnya di Indonesia.
Satu-satunya cara paling ampuh untuk menarik uang orang-orang kaya Indonesia di Singapura adalah melalui sharing informasi dan komunikasi diplomatik di antara kedua negara.
Akhir tahun lalu, Menteri Keuangan Indonesia, Bambang Brojonegoro pernah terbang ke Singapura dan melakukan pembicara terkait persoalan ini terutama meminta kesediaan Pemerintah Singapura untuk melakukan tukar menukar data perbankan.
Namun demikian hampir setahun berlalu tidak kunjung terjalin komunikasi yang lebih lanjut antarkedua negara. Singapura diyakini memiliki kepentingan ekonomi terhadap aset-aset perbankannya. Sangat mustahil bagi Singapura untuk melepas kepercayaan internasional atas kerahasiaan sistem perbankan yang telah dibangunnya selama puluhan tahun terakhir.
Itu sama saja dengan membuka mata publik atas kenyataan bahwa sebagian pondasi keuangan Singapura dibangun oleh kekuatan kapitalis yang berasal dari pengusaha pengusaha Indonesia.
Masa depan hubungan Indonesia-Singapura
Jika melihat ringkihnya ekonomi Indonesia yang berbanding terbalik dengan kekuatan ekonomi Singapura, Indonesia tidak bisa mengharapkan kesediaan Singapura untuk membagi informasi perbankan untuk mencegah kejahatan pajak. Indonesia juga tidak bisa berharap banyak pada kekuatan ekonomi Internasional untuk menekan pemerintah Singapura. Meskipun ada harapan akan adanya keterbukaan informasi pada tahun 2018, tiga tahun adalah waktu yang lebih dari cukup bagi pengusaha-pengusaha kawakan tersebut untuk mengalihkan hartanya.Pengusaha yang jeli tidak hanya menyimpan uang di Bank tetapi juga mendistribusikannya di pasar saham dimana akan semakin sulit untuk dilacak.
Masalahnya juga semakin runyam karena dengan menyimpan kekayaan di Singapura, tidak ada satupun aturan hukum yang dilanggar. Saya tidak akan membahas tentang kejamnya sistem keuangan internasional dimana negara berkembang kehilangan potensi pajaknya karena uangnya lari keluar negeri setelah sumber daya alamnya dikeruk habis, tetapi benarkah ini tidak bisa diantisipasi?
Di antara jalan yang bisa ditempuh oleh pemerintah Indonesia adalah dengan melakukan pengawasan transaksi keuangan semaksimal mungkin, sebisa mungkin mengurangi cash transaction, memperkuat audit perpajakan mereformasi hukum perpajakan serta meningkatkan hukuman bagi kejahatan perpajakan. Strategi-strategi tersebut menjadi strategi ideal yang bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Namun demikian dipastikan itu tidak akan mudah, mengingat trik-trik para pengusaha selalu muncul lebih awal sebelum ide pemerintah ditelurkan. Maraknya praktik transfer pricing dan canggihnya sistem offshore juga akan semakin menyulitkan pemerintah mengawasi transaksi perbankan.
Jika itu masih belum efektif, Indonesia sejatinya masih punya senjata terakhir untuk menekan pemerintah Singapura yaitu melalui tekanan politik. Indonesia sebenarnya bisa memaksa Singapura untuk mau bekerja sama untuk menarik kembali uang tersebut ke Indonesia, serta melakukan kerja sama dalam menginvestigasi dugaan pencucian uang dan penggelapan pajak. Indonesia bisa mengadopsi tekanan politik pemerintah Amerika Serikat baru-baru ini terhadap Swiss yang sukses memaksa Bank-bank di Swiss untuk menyepakati investigasi terhadap penimbunan harta kekayaan miliarder Amerika di bank-bank di Swiss.
Indonesia pada kenyataanya memiliki peluang melakukan tekanan secara politik mengingat potensi ekonomi Indonesia yang menjadi pasar terbesar bagi produk jasa pengusaha-pengusaha Singapura. Tetapi ini tampaknya mustahil dilakukan, karena sebelum itu terjadi, Presiden Jokowi sudah terlebih dahulu memohon-mohon kepada Singapura untuk berinvestasi di Indonesia.
Media Wahyudi Askar
Dipublish di Selasar, 26 November 2015