Indonesiaku Kering dan Rusak

Ketika sore menyongsong di ufuk barat, banyak sekali manusia yang memprotes kenapa malam sudah datang menjelang. Baru saja memulai hari dengan sinar matahari pagi, ehh sang waktu sudah membawa kita pada malam hari dengan belum sempat melakukan kegiatan yang teramat penting. Protes kenapa semuanya begitu singkat, itulah gambaran nurani yang terasa ketika kita gagal memanfaatkan momen-momen berharga di waktu muda dengan kegiatan yang bermanfaat. Kegagalan dari hari ke hari makin menyadarkan akan ketakutan dan kegamangan masa depan. Menurut seorang rekan satu kosan yang merubah semuanya menjadi tawa dan canda, konon suatu hari ada tiga orang pemuda yang diperiksa di kantor polisi karena melakukan pencurian di salah satu kota di Sumatera Utara. Pada saat interogasi, pemuda pertama dipanggil untuk kemudian diminta keterangan kependudukan. Setelah dia mengatakan bahwa dia berasal dari daerah Jawa, polisi mengamuk, membanting dan memasukkannya ke dalam tahanan. Namun lain halnya dengan pemuda yang kedua yang kebetulan berasal dari Medan, setelah diinterogasi dan mengatakan bahwa ia adalah Medan asli, polisipun diam tanpa berbuat apa-apa walaupun tetap dimasukkan ke penjara. Melihat situasi seperti itu pemuda ketiga yang berasal dari Padangpun takut, bingung dan berusaha mencari akal. dan ketika ditanya “Kamu darimana ?”, lantas dia kemudian menjawab, “Ambo urang Batak”, Setelah itu anda mungkin bisa menebak apa yang terjadi.

Silahkan tertawa atau tidak mengerti sama sekali lelucon ini. Tersirat dari lelucon diatas, Ilmu pengetahuan umumnya tampak mulai letih memberikan jawaban -jawaban terhadap persoalan. Hampir setiap persoalan hanya mampu dijawab dengan cara standar dan penuh ketakutan. Alhasil semua hanya melahirkan ambiguitas, pemikiran dan kebijakan tanpa arah. Lihat saja hutang-hutang IMF yang masih menjerat Indonesia sampai saat ini, walaupun pada tahun 2005 klausul sudah disepakati untuk tidak berhutang lagi pada tengkulak (IMF), sebenarnya langkah itu patut diapresiasi namun demikian, sampai saat ini kenapa masih saja banyak kegamangan akan keterpurukan perekonomian Indonesia karena tidak lagi berhutang bila kelak terjadi resesi yang luar biasa dan Indonesia tidak memiliki cukup cadangan devisa. Semuanya berawal dari ketakutan, dan impactnya luar biasa, para pemuka negeri ini kehilangan kecerdasan. Padahal baru satu tahun kita berkomitmen untuk melahirkan kebangkitan nasional yang kedua.

Demikian juga persoalan yang muncul dalam kehidupan berbangsa bernegara di tahun pemilu ini. Dari waktu ke waktu media massa dan surat kabar menyuguhkan pertandingan politik yang luar biasa. Ke kanan terus ke kiri, maju dan mundur, Tarian politik ini diprediksi makin menjadi jadi hingga akhir tahun ini. Begitu sulit menjelaskan apakah memang ini substansi politik demokrasi yang diharapkan selama ini. Belum lagi permasalahan resesi perekonomian dunia yang memperlambat pertumbuhan Indonesia yang hanya sekitar 4%. Ada sekumpulan orang yang baru saja tumbang dari pertarungan mendapatkan kursi senayan, kemudian menelanjangi lawan-lawan politik lengkap dengan kekurangannya dan ujung-ujungnya bertindak destruktif. Demikian juga persoalan langganan yang muncul sepanjang perjalanan Indonesia, baik inflasi, kemiskinan, pengangguaran, TKI dan pembunuhan. Semua datang silih berganti mirip perputaran siang dan malam.

Satu bingkai dengan judul diatas. Indonesia sebagai sebuah sungai tanpa aliran air. Kering dan rusak. Padahal makna sungai sendiri adalah aliran air yang terjadi dari hulu sampai ke hilir. Apa yang terjadi?, Hulu sungai sudah rusak, pohon ditebang sembarangan, sehingga kurangnya resapan dan aliran air. Kerusakan itu berlanjut sampai kehilir karena sampah dan pencemaran. Elit-elit bangsa sebagai hulu kebijakan tidak lagi mampu berpikir jernih demi kepentingan nasional, bersikap sembarangan dan itu berimbas pada masyarakat sebagai hilir dari proses politik. Belum terpecahkannya soal permasalahan publik dan barisan kecurigaan disana sini, makin melengkapi wajah Indonesia sebagai sungai yang kering. Tanpa makna dan arti apa-apa

Digabung menjadi satu, tidak hanya pemuda Padang tadi yang kebingungan dan ketakutan membaca situasi saat ini. Kaum intelektual dengan ilmu yang dimilikinya juga mulai lelah dan letih membaca situasi saat ini. Mengutip analisis ekonom Kwik Kian Gie, teknokrat-teknokrat ekonomi Indonesia saat ini begitu kebingungan. Mereka yang hampir semuanya menganut paham kapitalis dengan bersekolah di negeri penganut kapitalis kelimpungan menjawab resesi ekonomi dan kegagalan sistim kapitalis. Sehingga banyak kebijakan yang mereka lakukan lahir di luar nalar.

Namun, terlalu frontal jika kita hanya mendaulat satu permasalahan atas segala kekurangannya, alangkah lebih baik jika kita sebagai mahasiswa dan iron stock dimasa depan bersifat solutif atas segala permasalahan tersebut, bertanggung jawab mulai dari sekarang untuk lima, sepuluh dan dua puluh tahun mendatang. Disinilah letak nilai-nilai kearifan diri itu yang sesungguhnya. Bila kearifan diri sudah menjadi bagian dalam diri kita, dialah yang membuat mata kita bisa melihat dan menyadari dimana kita berada, apa yang telah kita lakukan dan sejauh mana kita memanfaatkan potensi yang dimiliki sebagai kendaraan kemajuan. Kearifan diri menuntut kita berpikir atas peranan kita dalam setiap langkah hidup. Kearifan diri mampu menjawab kekurangan dengan sumber daya yang kita miliki yang kemudian menjadi kekuatan natural. Tanpa kekuatan dari dalam diri untuk bergerak maju, kita tidak akan dapat berbuat apa-apa, jangankan ketika kita berada di tengah badai di samudera luas, di tengah limpahan emas permata sekalipun kita hanya seperti gajah-gajah besar yang berkeliaran tak tentu arah di tengah ladang para petani. Menendang, menginjak dan berjalan seenaknya tanpa merasa bersalah sedikitpun kalau dia telah merusak salinan kehidupan yang teramat berharga.

Merenungi ihwal seperti ini kerap saya berhenti sesaat dari aktifitas malam untuk sejenak menatap ke arah barat teringat kampung halaman yang masih mengagumkan dan penuh kedamaian, air sungai yang masih jernih disertai rumput hijau yang masih cukup banyak untuk makanan kambing. Tubuh ibu pertiwi yang masih demikian arif menatapi langit dengan keheningannya. Di tengah renungan itu saya seringkali bertanya sejauh mana kearifan diri saya atas segala proses dan tanggung jawab yang saya jalani hingga saat ini. Kemanakah saya akan dibawa pergi oleh semuanya. Semua memang hanya diam. Tanpa jawaban.tapi setidaknya ada satu pilihan, tertawa….merenungi nasib pemuda ketiga

Leave a Reply

Your email address will not be published.

WC Captcha 83 − 76 =