Mencari Solusi Sistem Subsidi Elpiji

Meskipun angka kemiskinan mengalami penurunan cukup signifikan selama satu dekade terakhir, Indonesia harus memasuki tahun 2020 dengan penuh kehati-hatian.
Hambatan perdagangan yang diterapkan di berbagai negara tujuan ekspor Indonesia, menurunnya kinerja harga minyak Indonesia (ICP), hingga perlambatan ekonomi global, semakin memperberat langkah pemerintah menurunkan tingkat kemiskinan.

Apalagi, ada wacana pencabutan subsidi elpiji tiga kilogram (kg) dan memberikannya secara tertutup bagi masyarakat miskin. Upaya pembatasan subsidi elpiji tiga kg bukanlah isu baru melainkan selalu tertunda karena berbagai pertimbangan.
Pemerintah berargumen, selama ini subsidi elpiji tiga kg tidak tepat sasaran. Ini karena total konsumsi energi masyarakat miskin jauh lebih rendah dibandingkan total konsumsi energi masyarakat kelas menengah ke atas.

Pendapat tersebut bisa jadi benar karena dengan model subsidi terbuka saat ini, maka semua lapisan masyarakat bisa membeli elpiji tiga kg dengan harga subsidi.
Berdasarkan data Badan Kebijakan Fiskal, 10 persen orang kaya Indonesia masih menikmati subsidi elpiji tiga kg. Angka ini diprediksi akan terus meningkat seiring meningkatnya jumlah kelas menengah Indonesia

Di sisi lain, anggaran subsidi elpiji terus meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Subsidi elpiji tiga kg yang hanya senilai Rp 25,8 triliun pada 2015 membengkak lebih dari dua kali lipatnya pada 2018, sebesar Rp 58 triliun.

Total konsumsi elpiji tiga kg bahkan diprediksi mencapai tujuh juta ton pada 2020. Masalahnya, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi elpiji, sekitar 70 persennya harus dilakukan dengan cara mengimpor dari negara lain.

Upaya pemerintah membatasi subsidi elpiji tiga kg agar lebih tepat sasaran memang patut diapresiasi. Namun, perlu digarisbawahi bahwa konsumsi energi merupakan salah satu pengeluaran terbesar dalam anggaran rumah tangga masyarakat miskin.

Mengacu data BPS, 51,49 persen atau sekitar 11,6 juta rumah tangga miskin di pedesaan menggantungkan hidupnya dari gas elpiji tiga kg. Di perkotaan, terdapat sekitar 10 juta atau 82,25 persen rumah tangga berpenghasilan rendah yang sangat bergantung pada elpiji tiga kg.

Dengan kata lain, apabila pembatasan subsidi elpiji tiga kg tidak dikelola dengan baik yang berakibat pada hilangnya akses sebagian masyarakat miskin terhadap elpiji murah, masyarakat kecil menjadi kelompok paling rentan akibat kebijakan ini.
Selain itu, kebijakan pembatasan subsidi elpiji tiga kg juga memiliki dampak tidak langsung terhadap masyarakat kecil. Saat ini, elpiji tiga kg menjadi tumpuan utama bagi berbagai usaha mikro di Indonesia.

Pembatasan subsidi elpiji tiga kg dipastikan akan meningkatkan beban produksi usaha mikro dan bisa berdampak pada pengurangan tenaga kerja yang sebagian besar juga berasal dari golongan masyarakat berpenghasilan rendah.

Selain itu, kenaikan harga gas elpiji tiga kg bisa memicu meningkatnya harga kebutuhan pokok. Dalam jangka pendek, masyarakat kecil harus berjibaku menghadapi peningkatan konsumsi rumah tangga akibat kenaikan harga elpiji tiga kg.

Program pembatasan subsidi elpiji tiga kg bisa berdampak negatif tidak hanya pada bidang ekonomi, tetapi juga politik apabila tidak dikelola dengan hati-hati oleh pemerintah. Dengan sistem demokrasi Indonesia saat ini, masyarakat memilih penguasa dalam ruang gelap. Artinya, kontestan pemilu memiliki hak untuk menawarkan janji-janji politik yang bisa jadi sangat berbeda dengan kebijakan yang diambil setelah mereka terpilih.

Sebagai gantinya, pemerintah atau presiden terpilih akan menawarkan alternatif lain yang dianggap lebih berpihak pada masyarakat kecil. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara pemerintah meyakinkan masyarakat bahwa program pembatasan subsidi elpiji tiga kg benar-benar dilakukan untuk kepentingan rakyat kecil?

Karena itu, sebelum menerapkan pembatasan subsidi elpiji tiga kg, pemerintah harus menerapkan model kebijakan baru, yang tujuannya tidak hanya meningkatkan kualitas penggunaan anggaran, tetapi juga membangun kepercayaan masyarakat pada pemerintah.

Mencari Jalan Terbaik
Setidaknya, ada dua pilihan kebijakan yang bisa diambil oleh pemerintah. Pilihan pertama, dengan skema subsidi tertutup, yakni masyarakat yang kurang mampu masih tetap mendapatkan subsidi elpiji tiga kg.

Namun, melakukan seleksi terhadap penerima program subsidi elpiji tiga kg bukanlah pekerjaan mudah. Pemerintah bisa berkaca dari berbagai masalah yang selama ini terjadi di berbagai program subsidi energi.

Sebagai contoh, di atas kertas saat ini pemerintah menerapkan program BBM bersubsidi jenis bensin dan solar. Alih-alih menerapkan program subsidi yang berpihak pada masyarakat menengah ke bawah, mereka justru membayar lebih mahal khususnya karena kelangkaan bensin dan solar.

Kongkalikong antara pebisnis SPBU atau oknum sopir truk BBM dan para pelangsir sudah menjadi rahasia umum. Di berbagai daerah di Kalimantan, misalnya, sangat mudah menemukan kondisi, yaitu di depan SPBU terpampang tulisan “BBM Habis”, tetapi persis di depan SPBU tersebut berjejer “pertamini-pertamini”.

Lemahnya sistem pengawasan dan penyaluran program BBM bersubsidi, mendorong pelaku ekonomi melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi melanggar hukum demi mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari kebijakan BBM bersubsidi. Kondisi serupa juga bisa terjadi pada saat pencabutan subsidi elpiji tiga kg. Apabila mekanisme subsidi gas elpiji tiga kg tidak dilakukan secara terencana, dengan mekanisme dan prosedur yang tepat, kelompok paling dirugikan dari penyelewengan subsidi elpiji tiga kg adalah masyarakat miskin itu sendiri.

Pada akhirnya, mereka tidak punya pilihan lain selain membeli elpiji tiga kg sesuai harga pasar atau bahkan jauh lebih mahal. Untuk mengatasi hal ini, wacana menerapkan teknologi digital dalam penyaluran elpiji tiga kg bagi masyarakat miskin menjadi masuk akal untuk dipertimbangkan.

Teknologi digital terbukti ampuh membantu dalam menyederhanakan proses birokrasi dengan akurasi tepat dan proses cepat. Namun, perlu diingat, kesulitan terbesar bukanlah menciptakan sistem teknologi digitalnya melainkan membangun literasi digital masyarakat.

Masyarakat miskin yang tinggal di perkotaan memang relatif lebih siap bila skema ini diterapkan. Namun, tidak demikian halnya dengan masyarakat miskin yang tinggal di perdesaan. Jumlah penduduk miskin di perdesaan jauh lebih besar daripada jumlah penduduk miskin di perkotaan. Mengacu data BPS per September 2019, jumlah penduduk miskin di perdesaan sebesar 12,6 persen, sedangkan di perkotaan hanya 6,56 persen.

Kendala lainnya, meskipun pembatasan subsidi elpiji tiga kg dilakukan dengan menggunakan teknologi digital, kebijakan penyaluran subsidi elpiji tiga kg tetap akan memiliki eksternalitas pasar. Skema kedua yang bisa diterapkan pemerintah adalah dengan mengganti subsidi elpiji tiga kg dalam bentuk uang dan mengintegrasikannya dengan program jaminan sosial yang lain seperti Program Keluarga Harapan (PKH).

Skema ini sebetulnya jauh lebih efektif, efisien, dan berorientasi jangka panjang. Lewat skema ini, pemerintah hanya perlu menyusun payung hukum, memperkuat kerja sama kelembagaan, serta memperluas cakupan penerima PKH yang selama ini baru mencapai 10 juta keluarga miskin. Dengan integrasi program subsidi ini, pemerintah tidak perlu membangun kembali sistem baru dengan potensi risiko dan masalah yang baru. Lebih penting lagi, penghematan anggaran dan sumber daya bisa tercapai.

Pengalihan dana subsidi elpiji tiga kg sebesar Rp 50,6 triliun menjadi program bantuan sosial PKH yang hanya dialokasikan sebesar Rp 29 triliun pada 2020, akan memberikan dampak yang jauh lebih signifikan kepada masyarakat kecil. Pada akhirnya, tidak ada solusi sempurna mengatasi persoalan ini. Di satu sisi, subsidi elpiji tiga kg memang lebih banyak dimanfaatkan kelompok masyarakat nonmiskin. Di sisi lain, pembatasan subsidi elpiji tiga kg pun berpotensi memukul perekonomian masyarakat miskin.

Namun, mengintegrasikan program subsidi elpiji tiga kg dengan program jaminan sosial lain dan menggantinya dalam bentuk uang, jauh lebih efektif melindungi masyarakat miskin dari terus meningkatnya konsumsi energi.

dipublish di Republika, 22 Januari 2020

Leave a Reply

Your email address will not be published.

WC Captcha 14 − = 12