Sepak Bola Milik Rakyat
Rasanya tidak berlebihan, jika mengatakan bahwa di Indonesia, sepak bola seperti ikon yang merefleksikan kondisi sosial masyarakat. Sepak bola adalah hiburan wajib bagi anak-anak sepulang sekolah. Sepak bola seperti nyawa bagi supporter fanatik yang rela tawuran demi membela tim kesayangannya. Sepak bola adalah penghidupan bagi jutaan pedagang kaos dan pedagang minuman yang berjualan di tengah stadion. Sepak bola, sekali lagi, adalah obrolan warung kopi yang selalu hangat diceritakan setiap hari di Indonesia.
Fakta lainnya adalah, Indonesia adalah negara dengan jumlah supporter sepak bola terbesar di dunia. Dengan antusiasme sepak bola yang luar biasa, idealnya Indonesia memiliki potensi besar dalam prestasi sepak bola.
Namun demikian, satu hal yang aneh, potensi justru berbanding terbalik dengan prestasi. Saat ini Indonesia menempati peringkat 156 Fifa, ketujuh se Asia Tenggara. Kondisi ini melahirkan anekdot, bahwa masyarakat Indonesia hanya bisa menonton sepak bola, tetapi tidak bisa bermain bola.
Jika dilihat dari sudut pandang prestasi, anekdot ini mungkin benar adanya, jangankan berprestasi di kancah dunia, sepak bola Indonesia tidak bisa berbicara banyak di kancah regional Asia Tenggara. Tetapi benarkah masyarakat Indonesia tidak bisa bermain bola ?
Rasanya mustahil, melihat antusiasme masyarakat, lapangan bola yang selalu penuh setiap sore, Anekdot ini sungguh tidak masuk akal. Pasti ada sesuatu yang salah. Kesalahan dalam pengelolaan manajemen sepak bola Indonesia.
Sangat fair apabila saya mengatakan bahwa PSSI yang harus bertanggung jawab atas minimnya prestasi sepak bola Indonesia. Kompetisi liga yang semrawut, dugaan pengaturan skor hingga tunggakan gaji pemain yang tak mampu dimediasi oleh PSSI. Namun demikian, mengurai titik-titik kegagalan PSSI ternyata seperti mengurai benang kusut. Salah satunya adalah karena adanya afiliasi bisnis dalam tubuh PSSI. Afiliasi bisnis inilah yang akhirnya membuat Kementrian Pemuda dan Olahraga membekukan PSSI.
Afiliasi bisnis ini sebetulnya sangat mudah untuk ditelusuri. Pembekuan PSSI berawal dari tidak diakuinya Arema Cronus dan Persebaya Surabaya oleh BOPI. Jika ditelaah lebih lanjut, Arema Cronus sendiri terbentuk setelah Arema diakusisi oleh grup Bakrie pada tahun 2012. Dalam perjalanannya PSSI melalui PT Liga Indonesia melakukan kerja sama hak siar dengan BV sport yang juga dimiliki oleh Bakri Grup dengan nilai investasi sebesar 1.5 triliun.
Secara hukum, tidak ada yang salah dengan investasi tersebut. Investasi tersebut boleh jadi adalah angin segar bagi PSSI untuk menjalankan kompetisi modern yang lebih professional. Kritiknya adalah apakah PSSI bisa menjamin tidak ada intrik pengaturan skor mengingat hak siar dipegang penuh oleh satu perusahaan yang pada saat bersamaan juga memegang saham tunggal salah satu klub yang berkompetisi? Penting untuk dicatat, fakta ini hanyalah satu diantara polemik PSSI, banyak lagi masalah lainnya seperti gagalnya pembinaan usia dini, menunggaknya gaji pemain, hingga masalah hukum.
Pertanyaannya kemudian, apa yang harus dilakukan? apakah langkah pemerintah membekukan PSSI dan kemudian mengambil alih PSSI adalah solusi yang tepat?
Saya memahami, ini menjadi dilemma bagi masa depan sepak bola Indonesia. Pengambilalihan PSSI beresiko mendapatkan sangsi atas FIFA. Tetapi disisi lain, pembiaran atas kegagalan tata kelola PSSI juga berpotensi malah terus memperburuk prestasi sepak bola nasional.
Namun demikian, berkaca dari kompleksnya masalah dan win-win solution yang semakin mustahil untuk diambil antara pihak Kemenpora dan PSSI, mengambil alih PSSI boleh jadi adalah solusi efektif mengakhiri polemic sekaligus meraih momentum mereformasi sepak bola nasional.
Masyarakat sudah muak
Kegagalan PSSI yang terulang di kancah international semakin menghilangkan kepercayaan publik terhadap kemampuan PSSI untuk bisa mengharumkan sepak bola Indonesia di kancah International. Optimisme masyarakat agar Indonesia bisa memasuki piala dunia, atau minimal merajai Asia sudah mulai hilang dari waktu ke waktu. Masyarakat sudah semakin realistis bahwa Indonesia butuh waktu untuk mempersiapkan timnas yang mampu berprestasi di kancah Internasional.
Artinya jika memang nanti Indonesia disangsi oleh FIFA, dan tidak boleh mengikuti kompetisi Internasional, boleh jadi ini didukung oleh sebagian masyarakat Indonesia yang telah muak atas minimnya prestasi timnas Indonesia.
Hal lain yang penting untuk dicatat, Indonesia sebetulnya tidak perlu terlalu khawatir dengan sangsi FIFA. Berkaca dari kasus Kuwait, Nigeria, dan Peru yang pernah di sangsi oleh FIFA, sangsi yang diberikan tidak berlangsung lama, bahkan tidak sampai 1 tahun. Artinya, sangsi bukan berarti kehilangan hak mengikuti sepakbola internasional selama bertahun-tahun lamanya. Sangsipun akan berakhir, seiring dengan berakhirnya konflik sepak bola nasional. Bahkan Indonesia malah harus percaya diri. Dengan jumlah supporter sepak bola terbesar di dunia, FIFA justru tidak akan semudah itu memberikan sangsi terhadap Indonesia.
Disamping itu, penting untuk diketahui, sangsi FIFA pun hanya berlaku untuk kompetisi internasional, dengan kata lain, Indonesia masih bisa tetap menggulirkan kompetisi lokal. Dari sudut pandang ini, para pemain, official, bahkan hingga pedagang pun tidak perlu takut atas sangsi FIFA sepanjang kompetisi lokal tetap berjalan.
Namun demikian adanya sangsi terhadap Indonesia hanya akan berdampak positif pada sepak bola Indonesia dengan catatan sebagai berikut. Pertama, pemerintah benar-benar mereformasi sepak bola nasional dengan tujuan yang tulus tanpa dilatarbelakangi kepentingan politik dan bisnis. Kedua, kurun waktu selama sangsi tersebut harus bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk merestrukturisasi PSSI dan merencanakan kembali roadmap sepak bola nasional secara lebih matang dan terukur. Ketiga, jika pemerintah berkeinginan mengambil alih PSSI, dan sangsi akhirnya diberlakukan oleh FIFA, maka kompetisi liga harus segera dijalankan. Hal ini penting mengingat dari kompetisi liga inilah keuangan klub bisa berputar kembali, para pemain, dan ofisial sepak bola menggantungkan hidup.
Sangsi bukanlah malapetaka
Terakhir, komflik yang terus terulang di tubuh PSSI lengkap dengan kegagalan prestasi sepak bola nasional membutuhkan reformasi total di tubuh PSSI. Gebrakan pemerintah mereformasi PSSI bisa menjadi momentum mengakhiri semrwaut sepak bola nasional.
Andaikan FIFA menjatuhkan sangsi, itu adalah harga yang patut dibayarkan atas kegagalan prestasi timnas yang terus terjadi 70 tahun pasca Indonesia merdeka.
Tapi kita juga tidak boleh lupa, sangsi FIFA bukanlah malapetaka. Sangsi FIFA justru bisa menjadi momentum bagi kebangkitan sepak bola nasional, sekaligus mengembalikan sepak bola sebagai komoditas rakyat yang bukan untuk diperjualbelikan demi kepentingan bisnis.
Sangsi FIFA tidak akan membunuh penghasilan para pemain, ofisial, dan pedagang, Sepanjang kompetisi liga tetap berjalan, sepak bola Indonesia tetap akan hidup. Suatu saat, setelah reformasi tubuh PSSI ini selesai, FIFA pasti akan membuka tangannya lebar-lebar untuk Indonesia. Saya yakin.
Yang dari kecil bermain bola, Media Wahyudi Askar
Thanks for information
Telkom University