Freeport di Papua, Smelter di Gresik, Masyarakat Papua Tersingkirkan

Papua

Sejak awal tahun 2015, eskalasi konflik di Papua masih terus mengalami peningkatan. Terutama setelah tertembaknya Leo Yogi, Panglima Tentara Pembebasan Organisasi Papua Merdeka Wilayah Paniai. Nyawa Leo tidak tertolong saat dirujuk di Rumah Sakit Umum Nabire, 30 April lalu. Tewasnya Leo, diduga berkaitan dengan adanya ancaman perang terbuka terhadap TNI dan Polri yang disampaikan oleh pimpinan OPM, Puron Wendan dan Endon Wanimbo.

Meski sempat mereda setelah Presiden Jokowi memberikan grasi terhadap lima tahanan politik Papua serta memberikan akses terhadap jurnalis Internasional, konflik di Papua dipastikan akan terus meningkat dalam beberapa waktu ke depan.

Hal ini terkait dengan adanya kepastian PTFI membangun pabrik Smelter di Gresik, yang terletak di Pulau Jawa dan jauh dari Papua. Rencana ini tentu saja mendapatkan penolakan dari masyarakat Papua. Gubernur Papua, Lukas Enembe bahkan mengancam akan mengusir Freeport jika tidak membangun Smelter di Papua.

Alasan penolakan masyakat Papua sebenarnya sangat masuk akal. Keberadaan pabrik smelter sangat strategis karena investasi sebesar 30 triliun ini mampu menyerap 10.000 tenaga kerja. Apabila pembangunan pabrik smelter dilakukan di Papua, hal ini tentu bisa menjadi solusi bagi rendahnya penyerapan tenaga kerja dan kemiskinan di Papua.

Tarik menarik kepentingan

Bagaimanapun juga keputusan pembangunan Pabrik Smelter di Gresik tidak terlepas dari tarik ulur kepetingan Amerika Serikat, PTFI dan Pemerintah Indonesia. Sebagaimana diketahui, kontrak Freeport akan berakhir pada tahun 2021. Dalam rangka memuluskan perpanjangan kontrak PTFI, Amerika Serikat melalui duta besarnya diketahui telah melakukan perundingan menyangkut Freeport dengan sejumlah pimpinan DPR dan Pemerintah Indonesia. Perundingan itu bertujuan untuk segera memastikan bahwa kontrak bisnis Freeport di Indonesia akan diperpanjang. Disisi lain, Pemerintah Indonesia masih terus berupaya menekan PTFI terkait mekanisme divestasi yang selama ini merugikan pemerintah Indonesia. Kesepakatan pembangunan smelter di Gresik diduga adalah salah satu butir kesepakatan dari proses tarik ulur kepentingan tersebut.

Bagaimanapun juga PTFI menjadi pihak yang paling diuntungkan secara ekonomi dengan rencana pembanganan pabrik smelter di Gresik. Selama ini PTFI memang berargumen bahwa alasan dibangunnya pabrik smelter di Gresik adalah karena ketiadaan air dan listrik di Papua. Namun demikian, alasan ini terkesan tidak masuk akal karena Papua diketahui memiliki potensi air Romuka sebesar 600 megawatt.

Jika dikaji lebih dalam, setidaknya terdapat dua faktor penting mengapa Freeport tetap ngotot membangun pabrik smelter di Gresik. Pertama, alasan keamanan. Terus meningkatnya konflik di Papua dikhawatirkan akan menggangu operasional perusahaan. Sehingga untuk mengantisipasi hal ini PTFI juga harus membayar biaya yang cukup besar untuk uang keamanan apabila pabrik smelter dibangun di Papua.

Kedua, alasan tenaga kerja. Seperti diketahui, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua adalah salah satu yang terendah di Indonesia. Tenaga kerja lokal di Papua dianggap tidak menguntungkan secara operasional dan tidak bisa memenuhi kebutuhan pengolahan pabrik dalam jangka pendek. Sebagai alternatif, PTFI bisa memanfaatkan tenaga kerja lokal dari luar papua. Namun demikian, jika langkah itu dilakukan, PTFI harus membayar upah lebih besar daripada mempekerjakan penduduk lokal.

Kesepakatan pembangunan pabrik smelter di Gresik memang menjadi preseden baik bagi keberlanjutan bisnis PTFI di Indonesia sekaligus menguntungkan secara operasional bagi PTFI. Namun demikian, kesepakatan itu adalah berita buruk bagi masyarakat lokal Papua yang akan kehilangan kesempatan mendapatkan pekerjaan. Kesepakatan itu sekaligus menjadi ironi, dimana eksploitasi sumber daya alam dilakukan di tanah Papua, tetapi menghasilkan kebermanfaatan yang lebih besar bagi masyarakat diluar Papua.

Meningkatkan ketimpangan sosial dan potensi konflik

Dengan dibangunnya pabrik pengolahan smelter di Gresik, bisa dipastikan akan meningkatkan kesenjangan sosial ekonomi antara masyarakat papua dan di pulau Jawa. Kecemburuan sosial ekonomi bisa terus menyulut potensi konflik bersenjata antara masyarakat Papua dan pihak militer Indonesia. Ketimpangan sosial ekonomi bisa dijadikan pembenaran bagi kelompok ekstrimis untuk terus menuntut kemerdekaan bagi masyarakat Papua.

Keputusan pembangunan smelter di Gresik, sekali lagi menambah catatan buruk pemerintah Indonesia dalam proses negosiasi dengan Freeport dan kapitalisme global yang pada akhirnya justru merugikan masyarakat lokal Papua. Freeport selalu mengungkapkan bahwa perusahaan tersebut telah memenuhi kewajibannya membagikan keuntungan kepada pemerintah Indonesia yang hanya menguasai 9,36 persen saham. Namun, perusahaan asal Amerika Serikat tersebut tidak pernah melaporkan keuntungan bersih yang mereka peroleh selama 43 tahun, terhitung sejak 1967.

Kasus Freeport di Papua adalah refleksi nyata tentang kalahnya negara dari kapitalisme global dan tersingkirkannya masyarakat lokal akibat ekploitasi sumber daya mineral.

Emas

Leave a Reply

Your email address will not be published.

WC Captcha 33 + = 43