Idul Fitri: Lebih Dari Sekedar Amplop THR
Tidak terdengar suara petasan. Tidak juga suara takbiran yang biasanya melantun bersahut-sahutan dari lapak VCD bajakan di pinggir jalan. Selama hayat dikandung badan, tahun ini menjadi lebaran pertama yang harus saya lewati di negeri seberang.
Akhirnya saya harus berdamai dengan keadaan. Dulu sebelum merantau dari kampung, saya pernah bermaklumat pada diri sendiri. Apapun yang terjadi, harus pulang disaat lebaran, jika perlu lautan pun diseberangi, macet diterjang, kapan perlu melawan perintah atasan !!
begitulah ikhtiar saya saat itu. Demi keinginan menikmati lebaran bersama keluarga, saya rela menempuh perjalanan pulang lebaran naik kereta ekonomi progo, atau menumpak bus jogja-padang 3 hari 3 malam lamanya. Tak peduli betapapun lelahnya, pasti terbayar dengan kebahagiaan.
Salah satu teman non-muslim pernah bertanya, kenapa orang muslim Indonesia begitu maniak mudik ke kampong halaman.
Sebenarnya, hasrat untuk berlebaran bersama keluarga itu seakan dibentuk dengan sendirinya oleh alam Indonesia. Beberapa hari sebelum idul fitri, teman sejawat biasanya sudah mulai kalang kabut nyari tiket pesawat murah, atau rela mantengin situs KAI berharap mendapatkan mukjizat. Menjelang hari raya, tayangan TV biasanya sudah mulai sibuk dengan pantauan jalur lalu lintas menjelang mudik. Di tipi-tipi, iklan menyedihkan mulai bermunculan, biasanya berkisah tentang seorang anak, eksekutif muda, yang durhaka pada ibunya karena gak pulang-pulang.
Suasana itulah yang membuat orang berbondong-bondong membulatkan tekad, harus pulang disaat lebaran !!
Tapi. .nasib lah yang menentukan segalanya.
Bagi yang berkesempatan berkumpul bersama keluarga setelah shalat Id, itu adalah momen yang sangat berharga, dalam, dan penuh haru. Khusus perantau kelas kakap yang pulang hanya sekali dalam setahun, momen itu bagai oase rohani pengobat kerinduan yang telah lama tak tercurahkan.
Sebaliknya. .
Bagi yang tidak berkesempatan untuk pulang kampung, berlebaran tanpa sanak famili itu laksana kiamat kecil yang menyakitkan. Bayangkan, mereka yang tidak pulang itu harus menahan iri, ketika membuka status facebook isinya hanya penuh dengan foto selfie tongsis bersama keluarga besar, atau tumpukan piring makanan lezat yang sengaja diupload orang-orang tidak bertanggung jawab. Bagi mereka yang tidak pulang, dan tidak bisa meredam perasaan, cucuran air mata bisa meleleh melintasi hidung, mulut dan dagu.
Alhamdullilah, hari ini nasib tidak berpihak, saya termasuk golongan kedua. Hahaha. .
Saya melewati idul fitri tanpa keriangan bersama keluarga. Ternyata benar, jus buah takkan benar-benar manis jika tidak dinikmati bersama keluarga. Rendang takkan terasa gurih jika tak ada riuh tawa bersama-sama. Suasana itu takkan bisa tergantikan.
Tapi. .tunggu dulu. .
benarkah ini hakikat berlebaran. .? berkumpul bersama keluarga, dan upload foto di facebook dan path ? atau jangan-jangan bukan itulah makna lebaran yang sebenar-benarnya.
Sambil seruput kopi mengingat kembali momen lebaran di masa lalu. Baru hari ini saya sadar, ternyata ada makna yang lebih besar dibalik hari raya idul fitri. Ternyata idul fitri bukan hanya sekedar berbagi oleh-oleh atau amplop THR dan tertawa bersama keluarga. Lebih dari itu, Idul fitri adalah momen pengingat, menegur kita sebagai hamba Allah agar lebih tawaddu’, rendah hati, dan peduli kepada sanak saudara.
Idul fitri bersama keluarga takkan ada artinya, jika hari-hari yang kita lewati sebelum dan setelah idul fitri adalah hari-hari yang kosong tanpa adanya rasa cinta kasih terhadap keluarga. Amplop THR tidak akan bermakna apa-apa jika dihari lain selain idul fitri, kita tidak pernah berbagi rezeki bersama sanak saudara kita. Pulang ke kampung disaat lebaran tidak akan bermakna apa-apa jika kita sebelumnya tidak pernah peduli dengan apa yang terjadi dengan kampung halaman kita.
Hal ini benar-benar mengingatkan saya pada salah satu kegiatan yang rutin dilaksanakan dikampung. Pasca hari raya, biasanya ada hiburan rakyat dan lelang. Lelang itu bisa menarik uang dari para perantau hingga puluhan juta rupiah. Pada saat itu, biasanya para perantau akan dengan gagahnya berlomba lomba menyubangkan hartanya.
Tapi (maaf), banyak perantau yang tidak sadar, bahwa itu hanya sekedar uang yang akan habis begitu saja. Banyak perantau yang lupa bahwa selama di perantauan, mereka tidak pernah membimbing anak kemenakan mereka dikampung. Sebelum lebaran, jarang sekali ada diantara mereka yang rela meluangkan waktunya untuk sekedar bertanya, Kenapa si Udin putus sekolah ?, Kenapa si Upin jadi pengangguran ? kenapa dikampung sudah beredar narkoba, minuman keras, dll?
Dalam lingkup yang lebih kecil antara anak dengan orang tua, bisa jadi banyak anak yang hanya pulang membawa segepok uang untuk orang tuanya, tetapi di hari hari biasanya mereka tidak pernah mencurahkan kasih sayang untuk orang tuanya, menanyakan bagaimana kondisi ayah ibunya? bagaimana makannya ?. Apakah mereka sedang susah, bahagia, dan seterusnya. .
Lebaran kali ini, jauh dari keluarga, menyadarkan saya, bahwa lebaran tanpa orang tua dan sanak family di sisi kita bukanlah suatu kiamat kecil. Kiamat yang sebenarnya adalah ketika kita sudah lupa tentang tanggung jawab kita terhadap orang tua, handai taulan dan kampung halaman kita.
Bagi sahabat saya, yang hari ini tidak bisa pulang lebaran, ada tanggung jawab yang lebih besar yang harus kita lakukan untuk prang tua dan sanak saudara kita. Yaitu dengan menyayangi mereka, dan memperhatikan saudara-saudara kita dikampung halaman, secara terus menerus, dari waktu ke waktu.
Jika itu telah kita lakukan, kebahagiaannya jauh lebih besar. Lebih dari sekedar oleh-oleh dan amplop THR.
Semoga idul fitri kali ini menjadi hari renungan bagi kita semua. .
Manchester, 1 Syawal 1436H. Media Wahyudi Askar