Catatan Perjalanan Tahun ke 26
22 September 2015, genap sudah 26 tahun raga ini menjejak dunia. Teguran Allah atas berkurangnya umur sekaligus pertanda bertambahnya beban hidup dan tanggung jawab.
Alhamdulillah, hingga detik ini Allah memberikan nikmat kesehatan yang luar biasa untuk tubuh kurus ini. Asal tahu saja, dulu saya dilahirkan sebagai anak pesakitan. Ada satu penyakit yang seringkali datang berulang. Demam panas !!. Kalo itu sudah terjadi, orang tua biasanya sudah sibuk mencari obat dan 5 potong daun jarak.
Oya, ada satu lagi penyakit yang sangat menyebalkan saat itu, sakit kaki, mungkin sejenis reumatik. Kalo sudah menjangkit, kuhanya bisa tertidur dengan menggantung kaki ke tiang dipan. Mungkin karena itu juga, pertumbuhan saya saat itu tidak maksimal. Saat SD dan SMP tidak ada yang mampu menyaingi saya sebagai siswa terpendek dan terkecil. Sehingga, setiap kali kultum Jumat, harus naik ke atas kursi agar bisa dilihat oleh siswa yang berdiri di barisan paling belakang.
Tapi Allah lah segalanya. Perlahan tubuh ini tumbuh dengan kuat. Tentu bukan sekelas binaragawan, tapi setidaknya saya bisa berlari kesana kemari, melawan suhu dingin dan menghilangkan ketergantungan dari paracetamol dan antibiotik.
Hingga waktu berjalan, di umur 26 tahun, tak pernah disangka badan ini saya gotong sampai ke Eropa. Meski dinginnya ugal-ugalan, ditambah beratnya beban kuliah, tubuh ini tak lagi berulah.
September 2015, saya menyelesaikan studi master di tanah seberang. Rasa terima kasih mungkin takkan pernah cukup membalas tangis doa orang tua dan keluarga dirumah. Terima kasih mungkin takkan pernah cukup untuk membalas jasa para sahabat yang terus menyemangati di saat lelah. Terima kasih, mungkin takkan pernah setimpal untuk semua jerih payah guru-guru yang telah memberikan saya ruang untuk memaksimalkan keterampilan berpikir.
Tanpa itu semua, mungkin mimpi-mimpi ini hanya khayalan belaka. Tanpa itu semua, takkan mungkin ku bertemu dengan manusia-manusia jenius dari penjuru dunia serta menjejakkan kaki di Negara-negara manusia mancung.
Teriring doa tulus dari dalam hati, semoga Allah membalasnya dengan pahala berlipat.
Kedepannya, semua mungkin akan jauh lebih berat, terutama setelah saya mendapatkan beasiswa LPDP dan kesempatan untuk melanjutkan studi Doctor di Manchester, Inggris. Terus terang, hati ini gusar. Amanah dari Negara yang sangat berat. Artinya juga, tahun-tahun kedepan, harus saya lewati kembali hari-hari jauh dari keluarga dan kampung halaman.
Ingin rasanya berteriak kencang melepaskan semua beban. Tapi itu semua tak cukup. .
Hingga saya teringat kembali momen itu. Disaat ibu menangis di ruang tengah rumah keluarga.
“nak pergilah, kami orang tua akan mendoakan. Hanya kamu yang bisa mengangkat harga diri keluarga. Semua orang dikampung tau, kalau dulu keluarga kita keluarga miskin. Penerima zakat kedua setelah orang cacat. Sawah tak punya, hanya dengan rumah pondok kayu diatas bukit”
Momen yang takkan bisa saya lupakan, sekaligus penyemangat bahwa tak mungkin lagi perahu dikayuh balik ke hulu. Tak mungkin membuang sampan ditengah pusaran.
Hanya ada harapan, Meski tepian masih jauh, setidaknya saya masih punya navigasi. Saya bisa saja tersesat. Tapi saya yakin akan menemukan jalan pulang, Indonesia dan kampung halaman.
Diatas langit Ceko, Qatar Airways
2015