Diorama Salim Kancil dan Konflik Pertambangan
Satu aktivis tambang dibunuh di Lumajang. Salim Kancil namanya
Setidaknya cukup untuk mengingatkan kembali memori saya tentang pengalaman bekerja sebagai CSR perusahaan pertambangan di Kalimantan.
Tanpa bermaksud menyederhanakan masalah. Masalah seperti ini tidak ada rujukannya dalam literature-literature barat. Tak perlu jauh-jauh merujuk teori-teori Weber, Marxis, kapitalis dll. Semua ini hanya tentang uang dan keserakahan.
Saya masih ingat hari-hari pada saat mulai bekerja sebagai agen perusahaan tambang, Saya dengan santainya mondar-mandir di kampung untuk berbicara dan melakukan mediasi dengan warga tanpa pengawalan keamanan pihak perusahaan tempat saya bekerja.
Sekelompok orang datang, mengerumuni dan mengancam saya dengan parang memaksa saya agar keluarganya diterima bekerja. Hari berikutnya, 4 Kepala Desa datang menemui saya, dan memaki-maki saya serta perusahaan tempat saya bekerja.
Entah kenapa, saat itu saya lugu sekali, pasrah dan percaya bahwa hanya Tuhan lah pelindung nyawa. Cerita teman yang dihajar orang kampung atau bahkan hampir mati menjadi hal yang biasa. Ada yang ditembak senapan angin. Beruntung, peluru mengenai sebungkus indomie dalam tasnya dan beliau selamat.
Tapi hari yang tidak mungkin saya lupakan hingga saat ini adalah saat bertemu dengan satu bos preman di pinggir sungai, dan dengan entengnya dia mengeluarkan satu senjata revolver dari dalam tas kecilnya sambil berbisik ke telinga saya “Perusahaan jangan macam-macam dikampung ini”.
Entah apa yang terjadi hari itu, jika saya mati. Mungkin beritanya akan berbeda dengan yang terjadi di Lumajang. Bisa jadi berita di Koran akan seperti ini “Seorang pegawai perusahaan tewas ditembak akibat tanah desa dirampas”
Berulang kali saya berniat mengajukan resign. Tapi tak kunjung terwujud. Akhirnya saya paksakan datang terus ke kampung, mendekati preman-preman dan kepala desa serta menginisiasi mediasi. Ada yang menyarankan untuk di Bom saja (dikasih uang) kepala desanya dan premannya dan meminta saya selalu dikawal pihak keamanan.
Akhirnya saya ketemu solusinya. Saya harus hidup bersama warga. Saya main volley dengan si bos preman. Saya ngajar ngaji di kampung. Hingga akhirnya wargapun bingung, mempertanyakan apakah saya benar-benar bekerja untuk perusahaan,
Pelan tapi pasti, butuh waktu yang lama hingga akhirnya si bos preman itu jadi sahabat karib saya dan kami berdua berhasil mengendalikan orang kampung. Membangun jembatan yang lebih sinergis antara perusahaan dan masyarakat.
Saya harus jujur katakan, saya lakukan semua itu tanpa sedikitpun melibatkan institusi Negara. Saya sudah coba !!. Semua institusi yang berkaitan dengan tambang itu “brengsek” (maaf). Setiap kali datang minta pengamanan ke Kepolisian, minimal ada amplop sekian. Datang ke Pemerintah Daerah, si Bupati malah ngancam-ngancam, memeras perusahaan hingga ujung-ujungnya uang untuk modal kampanye.
Mau mengharapkan kepala desa? Sama saja. Toh kepala desa juga bukan orang yang dihormati dikampung. Karena orang lebih percaya kepada pemuka agama dan adat.
Saat menjadi mahasiswa S1, berkiblatkan text book, saya percaya. Sengkarut kapitalisme SDA seperti ini bisa diselesaikan dengan reformasi hukum, musrenbang, kajian tata ruang atau reformasi birokrasi.
Tapi solusinya ternyata sederhana. Ternyata text book tidak berarti apa apa. Ternyata solusinya bukan dengan teriak-teriak anti perusahaan tambang dan menjudge bahwa perusahaan tambang itu mengekploitasi SDA merusak lingkungan dll
Tetapi, Bekerjalah dengan perusahaan tambang. Bicara dari hati ke hati dengan bos perusahaan tambang. Beri mereka pengetahuan tentang cara menghadapi masyarakat ketimbang membom pakai uang. Pada saat yang sama tinggal bersama masyarakat. Pahami mereka.
Cepat atau lambat, hati mereka akan berbicara jujur bahwa kita ada di pihak mereka.
Sayangnya Salim Kancil tidak mendapatkan itu.
Hati dan doa saya untuk Salim Kancil