Aku Papua (Chapter 6 – Semua Happy)
. .jalan-jalan ke kota adalah hari-hari yang paling kami nantikan. Terutama untuk mengobati rasa jenuh di siang hari tanpa fasilitas TV dan listrik. Untuk menjangkau kota dari kampung, kami harus berjalan beberapa kilo menuju jalan kota dan menyetop truk di pinggir jalan. Mungkin karena memang tidak ada angkutan umum, truk yang kebetulan lewat pasti mau berhenti untuk sekedar mengantar kami ke kota.
Kesan yang tak terlupakan saat hilir mudik di kota Bintuni adalah suasananya yang tidak berasa seperti di Papua. Hampir semua pedagang yang berjualan di kota itu adalah kaum pendatang. Mulai dari pedagang kain, alat rumah tangga, hingga perabotan. Hebatnya lagi banyak juga kutemukan warung masakan Padang. Haha, kadang gak habis pikir, jauh-jauh ke Papua masih saja nemu masakan Padang. Berarti benar guyonan orang di kampung dulu, bahwa pada saat Neil Armstrong mendarat di Bulan, dia kaget bukan kepalang, karena dibulan ternyata sudah ada warung masakan padang. Haha. Kampretos.
Setelah berjalan cukup lama mengitari pasar, hanya kutemukan sekelompok kecil pedagang asli Papua, itupun mereka hanya menjual beberapa onggok makanan sehari hari seperti ubi, sayuran dan buah-buahan. Pikirku dalam hati. Kenapa tidak banyak orang lokal Papua yang berjualan di pasar? Bukankah ini pasar untuk orang Papua? Kalo pake teori kuliah S1 dulu, pasar itu adalah pondasi ekonomi. Kalo pasarnya tidak diisi oleh orang lokal Papua, siapakah yang menyangga perekonomian Papua?
Apa yang sebenarnya terjadi?
Seingatku butuh berminggu-minggu untuk mengurai labirin ekonomi ini. Pejabat pemerintah yang kutemui juga hanya memberikan penjelasan yang mengawang-ngawang tentang hal ini. Ya wajar, mungkin pengen terlihat keren atau memang tidak tahu sama sekali. Tapi, pada akhirnya jawaban kutemukan setelah duduk seharian di halaman salah satu rumah Kepala Suku. Percakapan panjang yang tak pernah bisa kulupakan seumur hidup. Diskusi tentang kehidupan yang tidak pernah kutemui di bangku kuliah.Bahwa ternyata salah satu alasan kenapa tidak banyak orang Papua yang berjualan di pasar adalah karena budaya pernikahan. Kok bisa?
Duduk yang manis saudara-saudara, begini ceritanya.
Kepala suku berujar, untuk menikah di Papua, butuh mahar yang sangat besar. Bisa dalam bentuk emas, kain sutra atau bahkan uang ratusan juta. Mahar itu dibayarkan oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan. Ini juga yang menjadi alasan kenapa banyak anak perempuan disana tidak melanjutkan sekolah hingga jenjang SMA, karena sudah keburu dinikahkan oleh orang tuanya untuk mendapatkan mahar tersebut.
Jelaas, ku kaget mendengar penjelasan itu, Darimana uang mahar itu didapatkan, ratusan juta?? Tidak pernah terbayang, kalo calon istriku nanti minta mahar ratusan juta, mending ku minum jus baygon saja sekalian.
Si kepala suku menjawab, uang untuk mahar itu mudah sekali didapatkan. Biasanya seluruh keluarga akan mengumpulkan dan membantu uang mahar itu, mulai dari paman, kakek nenek, ponakan dll. Gampang bukan? Namun demikian, persoalannya dimulai dari sini. Si mempelai laki-laki, apabila nanti sudah menikah, dia juga wajib membantu saudaranya yang akan menikah sebagai bentuk balas budi.
Bagaimana kalau si mempelai yang sudah menikah tersebut tidak punya uang? Si kepala suku menjelaskan, maka keluarganya yang meminta mahar tersebut berhak untuk mengambil apapun harta milik keluarganya. Itulah kenapa, banyak orang Papua tidak mau berdagang. Karena bisa saja keluarga mereka datang dan mengambil barang dagangan mereka sebagai alasan untuk mahar pernikahan. Beliau juga menuturkan, karena alasan itu, banyak orang Papua tidak mau punya rumah mewah karena akan semakin memperbesar kemungkinan keluarga mereka datang untuk meminta pembagian harta.
Setelah mendengar itu, terang saja, otakku jadi gak singkron dan makit kusut. Kusut sekusut-kusutnya!! Ternyata yang terjadi, jauh lebih rumit dari yang kubayangkan. Bukan semata karena persoalan minimnya pendidikan tetapi juga kompleksitas budaya yang tidak sederhana.
Hingga kemudian tiba-tiba mulut yang gak tau diuntung ini keceplosan dan bertanya. Bapak, apakah itu berarti orang Papua itu sangat mementingkan uang?
Untungnyaaa. Si kepala suku tidak marah, tertawa, dan menjawab.
“Tidak, kita orang bagi, kalo punya 10 juta, punya anak 5, kitorang bagi, 2 juta, 2 juta. Kamu tahu kenapa mahar itu besar? supaya kita orang tidak mudah bercerai. Karena untuk bercerai mereka harus membayar lagi mahar dengan jumlah yang sama kepada keluarga perempuan. Itu sudah”
Seketika setelah mendengar penjelasan itu, dahi mengkerut, lidahku membisu. Kutarik nafas dalam-dalam, ternyata ada sebuah makna tersirat dari budaya mereka. Sungguh otak ini terlalu sombong dan angkuh menafsirkan kelemahan budaya orang lain. Asal nyablak, mengambil kesimpulan tanpa proses berfikir yang matang.
Budaya itu mungkin tidak sepenuhnya benar. Tetapi bisa jadi tidak salah. Jangan-jangan teori kepala suku itu lebih keren dari teori pasarnya Weber dan teori kapitalisnya Karl Marx.
Positifnya, coba bayangkan, jika untuk bercerai kita semua harus bayar lagi ratusan juta, mungkin angka perceraian di dunia ini akan turun drastis. Bayangkan jika kita pake prinsip pembagian harta seperti itu, maka semua orang akan punya tingkat kesejahteraan yang sama!!. Karena ada aturan yang kuat untuk membagi harta orang yang berpunya dengan keluarga mereka yang miskin harta.
Saya membayangkan, apabila 20 persen orang kaya di Indonesia menganut prinsip yang sama, berkewajiban dan tidak boleh tidak, harus membagi kekayaannya rata bagi semua penduduk Indonesia. Bisa jadi tidak ada yang miskin. Semua kita senasib, dan semua happy !!
Teori ini jelas tidak masuk akal dari sudut pandang ekonomi. Jelas bertolak belakang dengan disertasiku, berlawanan dengan logika berpikirnya para sarjana. Tapi kawan, jika dipikir secara matematis, Itu menjadi sangat-sangat masuk akal.
Ahhh. .dunia ini memang diciptakan indah sekali. Tidak ada kebenaran hakiki. Semua dilebur Tuhan dalam perbedaan. Semakin kubolak balikkan halaman buku, semakin kuselami dalam-dalam ilmu eksperimen dan logika barat, semakin kutemukan pelajaran alam. Bahwa tidak ada satupun teori sosial ekonomi yang mutlak dalam kebenaran, layaknya kunci inggris yang bisa dipakai untuk semua jenis masyarakat.
Lebih penting lagi, ku sadar teori itu diciptakan oleh manusia. Bisa diciptakan oleh siapapun, termasuk oleh kepala suku, yang jauh dari titel piagam, ijazah dan IPK.
Akhirnya, setelah diskusi dengan kepala suku, kuberanikan melahirkan teori baru
- Kalo kita punya uang, bagi dengan yang lain
- Kalo menikah, berilah mahar yang pantas kepada calon istri. Sehingga kamu tidak akan berpikir untuk meninggalkannya sampai ajal menjemput. Haha
Jelas tidak akan ada yang mau mematenkan teori ini, Who cares, setidaknya telah kulahirkan teori baru, ketimbang semata-mata berkiblat ke pantatnya Weber.
bersambung. .