Belajar Dari “Randi Sirok”
Tuan. Kalau punya waktu dan kesempatan, datanglah ke kota kelahiran saya. Jika tuan cukup beruntung turun di Bandara, naiklah travel avanza seharga 45 ribu. Dengan 3 Jam perjalanan, tuan akan sampai di jantung kota.
Memang tidak banyak hal spesial dari kota itu. Pasar becek berlumpur, deretan tukang ojek dan pedagang kaki lima masih menjadi pemandangan utama layaknya kota-kota lain di Indonesia.
Tapi tuan, kota itu punya banyak cerita yang bisa membuat geleng-geleng kepala.
Jika tuan berkenalan dengan penduduk kota itu, tuan bisa tanyakan seorang pemuda bernama Randi. Orang-orang memanggilnya Randi Sirok.
Randi Sirok sudah seperti legenda kota itu. Mulai dari anak kecil, preman, ustadz, bahkan Bupati sekalipun pasti mengenalnya. Ketenaran yang bahkan melebihi perantau paling sukses di Jakarta.
Ngomong-ngomong tentang Randi, umurnya sekitar 20an tahun. Dia bukan pengusaha, apalagi pejabat. Sebagian diantara kami percaya bahwa Randi adalah orang gila, dan sebagian lagi mengatakan Randi mengidap penyakit kelainan mental.
Tapi yang saya yakini, Randi terlahir kurang beruntung. Dia dan 2 orang adiknya dibesarkan oleh seorang Ibu yang memiliki keterbelakangan mental. Tak banyak terdengar cerita tentang bapaknya. Obrolan mulut ke mulut, Bapaknya Randi tidak bertanggung jawab, pergi begitu saja meninggalkan Randi dan keluarganya. Hingga kemudian Randi tidak pernah mengenal yang namanya sekolah, belajar mengaji, apalagi bergaul layaknya anak-anak lainnya.
Semenjak kecil, Randi adalah target olok-olokan. Percaya atau tidak, cukup bilang “ambuang paneh” maka Randi akan dengan senang hati membenturkan kepalanya sendiri di tembok dan tiang listrik. Tidak jelas darimana asalnya istilah itu, yang pasti semua orang tahu istilah itu adalah hiburan, sekaligus pemecah tawa ketika melihat Randi berteriak kesakitan dan tertawa sendiri setelah membenturkan kepalanya.
Tidak hanya itu, pernah suatu ketika, seorang teman mengisi botol aqua dengan air kencingnya dan meminta Randi untuk meminumnya dengan mengatakan itu adalah minuman extra joss. Sekelompok preman bahkan juga pernah menyuruhnya menghisap lem sebelum akhirnya Randi diamankan oleh warga. Randi memang tidak pernah merasa tersiksa atau terzalimi. Dengan polosnya dia masih selalu tertawa.
Pernah suatu hari, sepeda kesayangan saya hilang di halaman rumah. Beberapa minggu setelah itu seorang kawan mengatakan sepeda itu dicuri Randi Sirok. Selang satu bulan kemudian, sepeda itu saya temukan lagi dengan kondisi tanpa ban dan rantai. Saya marah bukan kepalang, pengen mukul kepalanya, hingga Bapak saya berpetuah “hanya orang bodoh yang melukai orang bodoh”.
20 tahun sudah semenjak kisah sepeda itu berlalu, sebelum akhirnya kami bertemu lagi dalam momen yang tidak pernah terduga. Siang itu, saat berada di kampung, tiba-tiba dia datang menghampiri dan bertanya.
Lai takana jo wak dek abang lai (Apakah abang masih ingat saya?)
Pasti lai (Ya, jelas masih), saya jawab sambil ketawa
Lai acok juo maliang? (Apa kamu masih sering maling?) Saya tanya sambil bercanda dan tertawa lepas
Dengan lugasnya dia menjawab: Lai bang, soalnyo urang jaek ka awak, kadang dek wak dak makan do, paruik litak (Masih bang, soalnya orang jahat sama saya, kadang karena saya gak makan, saya lapar)
Selang beberapa detik kemudian, tiba-tiba dia menangis.
Seketika saya terdiam.
Dari kecil, tak penah saya lihat dia menangis. Seberapapun olok-olokan yang diterimanya dia tak pernah sekalipun menangis. Tidak pernah.
Hingga kemudian saya sadar sesadarnya orang bodoh sekalipun punya hati nurani. Dibalik tingkah bodohnya, ternyata ada sebuah cerita yang tak pernah saya mengerti sebelumnya.
Satu kenyataan bahwa ternyata masyarakatlah yang membuatnya bertingkah jahat dan bodoh. Tidak memberinya makanan dan kehidupan yang layak dan tidak memperlakukannya layaknya manusia normal. Lingkungan justru menjadikannya bahan ledekan, tertawaan dan penghakiman sosial.
Kebodohan bukan pemberian Tuhan. Kebodohan diciptakan oleh manusia. Hasil pengabaian hak-hak dasar kemanusiaan dan ketidakpedulian kita atas lingkungan.
Jangan pernah menghakimi orang lain, jangan pernah juga membodohi orang lain. Karena hanya orang bodoh yang melukai orang-orang seperti Randi !!