Kredit Sepeda Motor Penyebab Tingginya Angka Kemiskinan?
Di era modern saat ini, banyak pekerjaan membutuhkan mobilitas tinggi yang mengharuskan kita berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu cepat. Di tengah keterbatasan transportasi publik, sepeda motor seringkali menjadi solusi alternatif untuk mendukung aktifitas ekonomi kita sehari-hari.
Fenomena ini kemudian ditangkap dengan baik oleh para pelaku ekonomi. Berbagai perusahaan kredit sepeda motor menjamur menjajakan kemudahan untuk mendapatkan sepeda motor. Bahkan hanya dengan uang muka Rp500 ribu, kita sudah bisa membawa pulang sepeda motor keluaran terbaru, lengkap dengan surat-suratnya.
Bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, kredit bisa jadi adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkan sepeda motor. Tapi percayakah Anda bahwa kredit sepeda motor adalah salah satu penyebab sulitnya masyarakat Indonesia untuk keluar dari kemiskinan? Dengan mempelajari pola prilaku ekonomi masyarakat dan mekanisme kredit kendaraan bermotor di Indonesia, asumsi ini bisa jadi masuk akal.
Untuk mendapatkan sepeda motor, masyarakat kelas menengah ke bawah seringkali diming-imingi dengan DP rendah oleh pihak dealer sepeda motor. Bagi masyarakat berpenghasilan minimum, skema ini memang terasa sangat ringan. Namun demikian, mereka sebenarnya telah masuk dalam perangkap hutang dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Dengan asumsi membayar uang muka (DP) sebesar Rp500 ribu, dalam kurun waktu sekitar 3 sampai 4 tahun mereka harus membayar sepeda motor Rp5-6 juta lebih mahal dari harga sepeda motor yang dibeli secara tunai. Harga yang sangat tidak ekonomis dengan jumlah bunga yang mencapai 25 persen.
Selama ini masyarakat menengah ke bawah, yang memiliki keterbatasan pengetahuan finansial, seringkali menjadi sasaran empuk para sales sepeda motor. Dengan berbagai intrik marketing, mereka dengan mudah merayu masyarakat msikin untuk memilih DP rendah. Semakin rendah DP sepeda motor tersebut, pihak dealer akan semakin diuntungkan karena mendapatkan bonus insentif yang semakin besar dari pihak leasing sepeda motor.
Di sisi lain, kebanyakan masyarakat menegang ke bawah tidak memiliki perencanaan finansial yang matang. Mereka jarang sekali memperhatikan proyeksi penghasilan dan kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian di antara mereka bahkan memutuskan membeli sepeda motor hanya dengan diiming-imingi kredit motor DP rendah yang dibagikan di perempatan jalan. Masalahnya menjadi semakin rumit, karena banyak diantara mereka yang melakukan kredit motor bukan atas dasar kebutuhan melainkan atas pertimbangan eksistensi, pamer harta dan harga diri.
Saya pernah mewawancarai satu keluarga miskin yang mempunyai dua kendaraan bermotor. Sepeda motor itu sehari-hari digunakan oleh dua orang anaknya untuk berangkat ke sekolah. Si kepala keluarga berujar bahwa motor itu didapatkannya secara kredit dan dia harus berjuang untuk melunasi kredit motor tersebut selama empat tahun lamanya. Pada saat saya tanyakan kenapa rela melakukan kredit motor yang sangat memberatkan ekonomi keluarga, jawabannya sederhana, dia tidak ingin anaknya terlihat berbeda dibandingkan kawan-kawan seumurannya yang memiliki sepeda motor.
Fenomena ini sangat umum terjadi di Indonesia. Sangat mudah menemukan keluarga yang memiliki 2 atau 3 sepeda motor di mana semuanya didapatkan secara kredit dan dibeli hanya untuk alasan harga diri keluarga. Atau fenomena dimana masyarakat rela mengurangi nutrisi makanan anak-anaknya demi untuk melunasi kredit kendaraan bermotor.
Persoalan ini memang terlihat sepele tapi menyebabkan dampak ekonomi yang sangat signifikan bagi keuangan keluarga. Dengan beban pembayaran kredit yang terlalu besar, akan sangat sulit bagi masyarakat untuk menyisihkan pendapatannya pada aktifitas ekonomi yang lebih bermanfaat seperti investasi pendidikan untuk anak-anaknya, investasi bisnis ataupun membayar asuransi hari tua. Mereka akhirnya terjebak dalam putaran hutang yang terus membelenggu mereka untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Setidaknya terdapat dua hal penting yang patut dicatat dari fenomena ini.Pertama, kebanyakan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah memiliki pengetahuan finansial yang terbatas sehingga mereka tidak memiliki perencanaan finansial yang baik dan terjebak dalam rayuan marketing tukang kredit motor.
Kedua, masalah kekayaan dan kesejahteraan ternyata bukan semata-mata tentang kalkulasi ekonomi tetapi juga kemampuan seseorang mengendalikan egonya. Ternyata banyak masyarakat melakukan kredit motor bukan atas dasar kebutuhan melainkan untuk menjaga harga diri dan penampilan meski harus mengorbankan investasi untuk masa depan dan hal-hal yang lebih penting.
Menyikapi hal ini setidaknya terdapat dua solusi, khususnya untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Pertama, jika memang benar-benar membutuhkan sepeda motor, pastikan jumlah kredit bulanan tidak melebihi 30 persen dari total penghasilan per bulan. Saya tidak sepenuhnya menyalahkan kredit kendaraan bermotor. Kredit kendaraan bermotor juga bisa bermanfaat apabila kendaraan tersebut digunakan untuk sarana penunjang pekerjaan. Tapi yang perlu dicatat. kredit tersebut bisa menjadi solusi sepanjang nilai total kredit tersebut tidak mempengaruhi aspek dan pangan.
Kedua, dalam kondisi penghasilan bulanan yang tidak memungkinkan melakukan kredit, membeli sepeda motor bekas yang murah adalah solusi terbaik. Saat ini, harga sepeda motor bekas di Indonesia bisa mengalami penurunan harga hingga 50 persen dalam jangka waktu pemakaian lima tahun. Walaupun dengan kualitas kendaraan yang tidak sebaik motor baru, tetapi masyarakat menengah ke bawah tetap bisa memiliki sepeda motor tanpa harus terjebak dalam mekanisme hutang yang merugikan.
Namun demikian, sekali lagi, teori ekonomi bukan soal hitungan matematika. Solusi ini sangat bergantung pada prilaku finansial kita masing-masing. Apakah kita mau memiliki motor bebek keluaran tahun 2002 di saat sebagian besar teman sebaya kita memiliki sepeda motor keluaran terbaru dengan cat mengkilat dan suara mesin yang lebih halus?
dipublish di Detik, 22 Januari 2016