Liverpool vs Dortmund, Jangan Menyerah Hingga Detik Terakhir

Saya tinggal di Manchester dan saya adalah pendukung Liverpool. Itulah jawaban standar saya ketika ada yang berseloroh “pasti kuliah di Manchester karena Manhester United”

Saya anti Manchester United, bukan karena klub atau filosofinya. Tapi lebih karena otak saya yang sepertinya sudah didesain anti mainstream. Dahulu kala, di kampung saya, Manchester United begitu diagung-agungkan karena selalu juara. Tapi tidak bagi saya, prinsip saya waktu itu, yang harus diperjuangkan itu adalah tim yang selalu kalah. Haha, itu kenapa saya cinta Liverpool, tim yang seringkali di bully. Boleh setuju atau tidak, tapi pliis jangan tertawa.

Prestasi Liverpool memang tidak sementereng Barcelona dan Juventus, terakhir kali juara liga inggris, 26 tahun yang lalu, saat saya masih dalam ayunan. Sejak itu tidak ada yang special, kecuali juara liga champions tahun 2005, lebih dari satu dekade yang lalu.

Hari ini saya berkesempatan nonton langsung perempatfinal liga Eropa di Anfield. 15 April 2016, sekaligus menjadi hari terbaik yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Momen terbaik saya menikmati sepakbola.

Dengan numpak sepur, dari Manchester saya tiba di stadion dua jam lebih awal. Beruntung, dapat tempat duduk yang dekat sekali dengan lapangan.

Satu menit sebelum peluit pertandingan dimulai, ribuan penonton hening sejenak memperingati tragedy Hillsborough, meninggalnya 96 suporter Liverpool tahun 1989. Emosi saya semakin menjadi jadi, setelah menyanyikan lagu You’ll Never Walk Alone. Beberapa saat setelah pertandingan dimulai.

Hanya saja, rasa haru dan kebahagiaan itu musnah lebih awal. Baru menit ke 9, Liverpool sudah tertinggal 2 gol. Ribuan penonton sempat terdiam. Beberapa makian nyaring terdengar. Bagi saya, 2 gol itu jauh lebih menyakitkan, jauh-jauh datang ke Liverpool, kalah telak, saya membayangkan pulangnya pasti dibully lagi.

Yang saya pikirkan saat itu, tidak mungkin Liverpool bisa membalikkan keadaan. Bagi yang tidak terlalu paham sepak bola, mencetak 3 gol itu bukan perkara mudah. Bahkan hampir mustahil.

Setelah peluit babak pertama dibunyikan, skornya masih 0-2. Lutut ini sudah tambah lunglai. Bukan karena capek berdiri, tapi masalah hati !!. Saya sempat beli kentang goreng pada saat jam istirahat babak pertama. Tapi entah kenapa, kentang itu berasa pahit sekali saat itu.

Babak kedua, saya hanya sorak-sorai biasa. Ikut-ikutan bro sebelah maki-maki pemain. Sayup terdengar bocah kecil di samping saya ngomong ke Bapaknya, “Why Liverpool players are fucking stupid”.

Menit 48, stadion bergemuruh, Origi mencetak satu gol. Ada sedikit harapan, 2 gol lagi.

Hanya saja, semangat itu redam kembali, 10 menit setelah itu, Dortmund menambah 1 gol lagi. Ribuan penonton dibelakang saya yang tadinya sempat bersorak, benar-benar diam.

 Hanya saja, mungkin itulah yang namanya sepakbola, dimana banyak hal yang tidak masuk akal bisa terjadi, tetap ada saja orang yang tetap semangat bernyanyi.

Drama, akhirnya dimulai sejak menit 66 dan 78 ketika Coutinho dan Sakho menyamakan kedudukan, 3-3 Artinya Liverpool hanya butuh satu gol lagi.

Sejak menit 78, suara stadion sudah seperti kapal pecah. Nyaring sekali. Saya merinding, bukan hanya karena Liverpool berhasil menyamakan kedudukan, tapi atmosfer stadion yang luar biasa. Baru kali ini saya melihat orang tua, nenek, kakek, hingga anak kecil berteriak dan bernyanyi sekencang mungkin. Ekspresi mereka jujur sekali, dalam dan sangat-sangat menikmati.

Sampai menit 90, satu gol yang ditunggu-tunggu tak kunjung terjadi. Suara saya juga sudah habis, berulang kali saya lihat papan skor. 3-3. Ah sudahlah.

Hingga akhirnya, Lovren berhasil mencetak gol pamungkas di masa injury time. Ingin tahu apa yang terjadi saat itu? Saya menendang apa yang ada didepan saya, melompat tak tahu arah. Berteriak sampe batas volume suara terakhir. Saya melihat nenek-nenek tadi berteriak gak karu-karuan. Bocah kecil disamping saya bahkan sampe manjat kepala bapaknya. Momen yang paling saya ingat, saya berpelukan dengan banyak orang di sebelah saya. Entah mereka siapa saya juga tidak tahu, Pun begitu dengan penonton yang lain. Bahkan ada perempuan paruh baya yang duduk di depan saya, sepertinya dia lupa, bahwa suaminya ada di sebelah kanan, bukan di sisi kiri.

Stadion bergemuruh luar biasa. Girangnya kami mungkin itulah yang dirasakan oleh para pemain Liverpool yang berjuang hingga detik terakhir sebelum peluit dibunyikan.

Bagi saya, momen ini menghadirkan kenangan dan makna yang sangat mendalam. Bahwa selagi ada waktu, tidak ada kata menyerah. Sebelum peluit terakhir dibunyikan, perjuangan belum usai.

Begitu juga dalam hidup, kadang kita terlalu mudah menyerah dengan kesulitan. Menganggap semuanya mustahil padahal kemungkinan itu masih ada. Tetap akan ada cahaya, meski kita berada di lorong yang gelap sekalipun.

11 Tahun yang lalu, saya merasakan momen yang sama di depan televisi. Saat Liverpool membalikkan keadaan dengan mencetak 3 gol dan akhirnya memenangkan liga Champion. Waktu itu, memang seakan hanya mimpi di siang bolong untuk bisa merasakan momen kemenangan liverpool,  dengan menyaksikan langsung di Anfield Stadium. Tapi tidak ada yang mustahil, tahun 2016, mimpi itu tercapai. Melihat, mendengar dan merasakan sendiri di tribun The Kop.

Sepak bola adalah kebahagiaan bagi banyak orang. Meski banyak yang tidak paham. Terutama kaum perempuan yang seringkali protes suaminya atau pacarnya kerjaannya cuma nonton bola. Wajar, kadang memang tidak bisa dijelaskan dengan mudah.  Tapi sesungguhnya bisa dirasakan.

Keluar dari stadion, dingin menyergap. Tetapi suasananya masih terasa hangat, beberapa supporter tampak bergandengan tangan, begitu juga dengan supporter tim lawan. Kami naik bus yang sama dan duduk bersebelahan dengan pendukung Dortmund. Suasana yang sepertinya tidak mungkin terjadi di dunia sepakbola Indonesia.

Sepak bola, sekali lagi adalah kebahagian. Sepak bola juga tentang perjuangan.

 Kau hanya akan berhenti belajar jika kau benar-benar Berhenti (Ruud Gulit)

 

Media Wahyudi Askar

Dari pojok kosan, sisi timur kota Liverpool, 15 April, 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published.

WC Captcha 81 + = 87