Hitam Putih Perjalanan
Dua foto ini adalah perjalanan kehidupan yang paling kontras dalam hidup saya.
1. Foto pertama diambil pada saat melakukan pemberdayaan masyarakat di Kampung Muara Teweh, pedalaman Kalimantan tahun 2013, Foto kedua diambil di Liverpool, Inggris pada tahun 2016
2. Foto pertama diambil di kampung tanpa listrik. Saya harus cari genset untuk menghidupkan proyektor. Itupun harus ngangkat dan setting sendiri. Foto kedua diambil di gedung mewah dengan fasilitas lighting ala sinema.Semua beres dirusin operator.
3. Layar proyektor di foto pertama terbuat dari kain kapan yang saya beli di pasar seharga 35 ribu dan dibentangkan menggunakan tali rafia dengan dibantu warga. Layar proyektor di foto kedua lebih canggih dengan sistem sekali pencet langsung terlipat.
4. Audiens di foto pertama adalah anak-anak dan warga yang rata-rata hanya berpendidikan SD. Audiens di foto kedua adalah mahasiswa pintar berpendidikan, kuliah di universitas Oxford, Cambridge dan berbagai universitas terbaik di dunia.
5. Di foto pertama, penonton duduk beralaskan tikar diatas tanah. Di foto kedua audiens duduk di kursi empuk berjenjang, buatan Eropa.
6. Karena tak ada tuntutan berpenampilan rapi, baju di foto pertama sudah lusuh dan berbau ala kadarnya karena seharian mondar-mandir di kampung bersuhu 35 derjat. Difoto kedua, tuntutan peran sebagai ketua PPI UK memaksa saya harus berpenampilan rapi. Setidaknya pakai parfum poundland.
7. Di foto pertama, saya harus putar otak mencari materi, guyonan dan kata-kata sederhana untuk menguasai suasana. Kalau tidak, mereka malah ribut atau berlarian tak tahu arah. Di foto kedua, apa yang disampaikan harus terkesan intelek. Walaupun sebenarnya substansinya sederhana.
8. Di foto pertama, saat memberikan motivasi untuk warga kampung, saya benar-benar menikmati kehidupan di alam nyata, sesekali mendengar suara jangkrik, celotehan warga, riak air sungai dan pemandangan yang sangat menggembirakan bersama bapak-bapak bersarung, pake singlet, bertemankan rokok kretek. Di foto kedua, entah kenapa seperti jauh dari rasa nyaman. Rasanya ngeri kalo bicara dengan orang pintar. Apa-apa harus mikir. Salah dikit bisa ada sentimen macam-macam. Mungkin memang trah nya begitu, makin pintar makin suudzon.
Tapi, begitulah hidup, kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di masa depan. Kadang begitu kontras, berubah dalam waktu singkat. Tapi satu hal yang penting untuk dicatat, dimana pun kita berada, berikanlah yang terbaik untuk masyarakat. Lakukan yang kita bisa, meskipun sederhana. Buah kebaikan yang kita tanam, insya allah akan kita petik di kemudian hari.
The most violent element in society is ignorance.