Hak Bekerja Dirampas Negara
“Bagaimana saya mau jadi peternak. Lihat saja banyak impor daging sapi. Kebijakan impor itu sama seperti mie instan, kalau kita makan mie instan setiap hari, usus jadi rusak. Begitu juga kebijakan instan, pasti akhirnya juga punya dampak buruk,”. Itulah keluhan Dela, salah satu sarjana Peternakan yang dikutip detik.com, Senin 28 November 2016 lalu.
Banyak pihak yang protes, bahkan terheran-heran, mengapa pemerintah Indonesia tetap bersikukuh melakukan impor. Bahkan, sudah terlalu sering kita mendengar “naas sekali, negara sebesar Indonesia dengan sumber daya melimpah, tapi tidak mandiri secara ekonomi”
Tulisan ini akan menjelaskan, seringkas dan sesederhana mungkin tentang kondisi ekonomi Indonesia hari ini, yang tengah dieksploitasi luar biasa oleh para pemilik modal.
Kebijakan impor tidak bisa dipisahkan dari perdagangan bebas atau dikenal dengan istilah free trade. Prinsipnya, perdagangan bebas mewajibkan setiap negara untuk meminimalisir hambatan perdagangan. Hal ini diperlukan agar harga barang mencapai titik yang paling efisien.
Sebagai contoh, impor jeruk murah asal Tiongkok yang masuk ke pasar-pasar Indonesia akan menekan harga jeruk hingga ke titik paling rendah. Akibatnya, pengusaha jeruk lokal terpaksa harus menurunkan harga jual agar komoditasnya tetap dilirik para pembeli.
Selaku konsumen, kita diuntungkan dengan adanya perdagangan bebas. Kita bisa membeli jeruk dengan kualitas baik dan harga yang sangat murah. Tetapi, bagi petani jeruk lokal, perdagangan bebas adalah malapetaka. Harga yang kompetitif akan mengurangi keuntungan mereka. Dampak yang lebih ekstrim bisa mengakibatkan banyak petani jeruk lokal harus gulung tikar sehingga hidup dalam kemiskinan.
Pertanyaannya, bagaimana caranya pemerintah Indonesia melindungi petani jeruk ini? Bisakah pemerintah melarang impor jeruk dari Tiongkok? Atau memilih untuk mengimpor jeruk dari Pakistan, meski harga jeruk asal Tiongkok lebih murah?
Sayang sekali tidak bisa. Indonesia telah dipalang oleh peraturan perdagangan Internasional yang melarang setiap anggotanya yang mengganggu aliran keluar masuk barang dan kompetisi antar produsen. Otoritas perdagangan Internasional bisa menghukum Indonesia atas pelanggaran terhadap kesepakatan perdagangan yang telah disepakati bersama.
Namun demikian ada persoalan lain yang lebih penting, siapa yang sebenarnya diuntungkan dari perdagangan bebas tersebut? Apakah perdagangan bebas memang menguntungkan konsumen atau justru lebih menguntungkan para pebisnis kelas kakap. Hemat saya, para cukong dan pebisnis kelas kakaplah yang paling menikmati keuntungan dari liberalisasi perdagangan, karena mereka bisa dengan bebas berdagang kemanapun mereka mau.
Pada saat yang sama, tentu saja kita selaku konsumen diuntungkan dari perdagangan bebas. Tidak hanya jeruk, kita bisa mendapatkan handphone, televisi bahkan sepatu dengan harga murah. Tetapi, pikirkan satu hal. Perdagangan bebas akan merusak tatanan sosial masyarakat yang lain. Tidak hanya itu, perdagangan bebas akan memaksa perusahaan untuk menekan harga produksi. Sehingga mereka secara naluriah akan cenderung mengeksploitasi para buruh, meminimalisir pengaruh serikat pekerja dan mengabaikan potensi kerusakan lingkungan. Itulah yang menjadi alasan dibalik demonstrasi para buruh yang menuntut kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) ataupun protes dari aktivis lingkungan yang menuntut perusahaan-perusahaan agar tidak mencemari lingkungan.
Nah sialnya, Indonesia seakan larut dalam permainan ini. Propaganda perdagangan bebas terus gencar dilakukan terutama untuk menjamin adanya stabilitas bisnis. Pemerintah bahkan dipaksa harus berpikir ratusan kali untuk menaikkan UMR karena para pebisnis mengancam akan hengkang dari Indonesia.
Propaganda itu sudah menjadi rahasia umum. Kita semestinya sadar lebih awal bahwa perdagangan bebas sebenarnya tidak diciptakan untuk mengurangi kemiskinan. Meskipun negara-negara seperti Brazil, Tiongkok, India dan Chile saat ini menikmati perdagangan bebas dan menunjukkan penurunan signifikan angka kemiskinan, tetapi ada puluhan bahkan ratusan negara berkembang yang saat ini menjadi “korban” perdagangan bebas. Lupakan negara-negara di Afrika, Senegal, Uganda, atau Tanzania yang telah jelas-jelas menjadi korban liberalisasi perdagangan sejak tahun 1980an. Negara seperti Bolivia, Peru, Vietnam bahkan Indonesia yang tidak memiliki industri yang kuat, telah dan selalu akan menjadi lahan bagi para taipan penikmat perdagangan bebas.
Proteksi ekonomi
Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan berdiskusi di WTO yang merupakan rezim perdagangan internasional. Salah satu isu yang saya sampaikan ke pimpinan WTO saat itu adalah kebijakan WTO yang melarang negara termasuk Indonesia untuk mensubsidi produk pertanian. Bagaimana mungkin organisasi Internasional melarang negara memberikan “makan” rakyatnya. Di negara berkembang, pertanian adalah tulang punggung masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah. Melarang negara memberikan subsidi untuk pupuk dan alat-alat pertanian sama saja membunuh petani secara perlahan.
Saya tidak akan membahas lebih detail tentang pro dan kontra pelarangan subsidi pertanian ini. Tetapi, pertemuan itu mengingatkan saya kembali tentang betapa naifnya negara-negara maju dalam membangun peradaban dunia.
Pada tahun 1776, ekonom asal Inggris, Adam Smith melahirkan karya “The Wealth of Nations” yang kemudian menginspirasi banyak negara di dunia untuk menerapkan perdagangan bebas. Kata-kata mujarabnya adalah; utamakan perdagangan bebas dan hilangkan proteksi ekonomi. Namun lucunya, Adam Smith melupakan fakta penting bahwa negara Inggris bisa berkembang dan menjadi penguasa Eropa saat itu karena proteksi ekonomi. Raja Henry I melarang adanya impor wool dari Spanyol, Raja Edward III bahkan memaksa penduduknya untuk menggunakan pakaian produksi lokal. Proteksi-proteksi ekonomi itulah yang membuat Inggris secara perlahan mandiri secara ekonomi bahkan hingga saat ini.
Contoh yang paling aktual, kita bisa lihat transformasi ekonomi Tiongkok yang sebenarnya lahir dari kebijakan proteksi ekonomi yang sangat kuat. Menjelang era 2000an, sangat sulit bagi perusahaan asing untuk mendapatkan lisensi mendirikan perusahaan di Tiongkok sehingga membuka peluang bagi berkembangnya industri lokal. Bahkan Tiongkok sebenarnya baru saja bergabung secara resmi dengan WTO sebagai rezim perdagangan internasional pada tahun 2001, disaat mereka sudah siap secara finansial, kualitas industri yang mumpuni, dan sistem ekonomi yang kuat.
Yang ingin saya tekankan adalah negara-negara maju yang saat ini memuja perdagangan bebas, sebenarnya dibesarkan oleh proteksi ekonomi. Pemerintah Indonesia tidak semestinya membusungkan dada, misalnya dengan selalu mengatakan bahwa Indonesia adalah calon negara ekonomi terkuat di dunia tetapi pada faktanya malah menjadi pasar bagi komoditas asing. Jika memang industri di Indonesia maupun pengusaha lokal belum siap berkompetisi secara global, jujur saja, tak perlu turuti aturan WTO yang melarang proteksi ekonomi dan memberikan subisidi pada pengusaha lokal. Jangan terlalu lugu.
Saatnya melakukan proteksi ekonomi dengan memberikan subsidi yang lebih besar bagi pemain lokal. Aturan WTO tidak lebih tinggi dari aturan perundangan Indonesia dimana setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Selama Indonesia terjebak dalam muslihat perdagangan internasional, maka akan lebih banyak lagi Dela-dela yang lain, para sarjana yang dirampas haknya untuk bekerja karena masifnya barang impor. Sialnya, perampasan itu dilakukan oleh negaranya sendiri.
Dipublish di Detik, 7 Desember 2016