Kolonialisme Ekonomi China di Tanah Indonesia
Sebagai pengendali negara, Jokowi telah menjalani separuh masa kekuasaanya. Banyak pengamat mengatakan, ekonomi Indonesia diperkirakan masih bisa tumbuh diatas lima persen pada tahun 2019. Namun demikian, sinyal kuat justru datang dari Menteri Keuangan Sri Mulyani, bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja akibat semakin dalamnya defisit APBN [1].
Defisit APBN sebenarnya sudah dirasakan semenjak pertama kali Jokowi menginjakkan kaki di Istana Negara. Jokowi hanya punya modal terbatas untuk mengambil hati rakyat dan mewujudkan janji-janji politiknya. Lima tahun masa pemerintahan jelas tidak akan cukup untuk memperbaiki sistem perpajakan yang mengakibatkan bolongnya pendapatan negara. Lima tahun masa kekuasaan tidak akan cukup bagi pemerintahan Jokowi memberantas mafia impor dan memperbaiki carut marut birokrasi.
Jalan pintas yang paling simple dan cepat adalah dengan berhutang atau mengharap suntikan dana dari investor asing.
Strategi ini dianggap paling jitu. Disamping tidak memberatkan APBN, berbagai pembangunan infrastruktur sebagai hasil kerja sama investasi ini bisa diklaim sebagai mega proyek kesuksesan pemerintahan Jokowi. Memang begitu fitrahnya, yang penting rakyat senang, negara aman dan syukur-syukur bisa terpilih kembali untuk periode yang kedua.
Dalam perjalanannya, China kemudian muncul menjadi partner utama urusan investasi di Indonesia. Entah memang sudah menjadi bagian dari kontrak politik sebelum terpilihnya Jokowi, tidak ada yang bisa memastikan. Tetapi yang jelas, selama satu tahun pemerintahan Jokowi, investasi China di Indonesia meningkat hingga 79 persen [2]. Hingga akhir tahun 2019, China diperkirakan akan menjadi salah satu dari investor terbesar di Indonesia. Pemerintahan Jokowi bertaruh, kebijakan ini akan mempercepat pembangunan atau malah tidak berdampak apa-apa bagi masyarakat dan menambah beban hutang Indonesia.
Memang sulit untuk memprediksi seberapa besar dampak investasi tersebut bagi Indonesia. Tetapi saya berkeyakinan, investasi tersebut tidak akan berdampak signifikan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Tulisan ini akan membahas secara singkat dan sesederhana mungkin tentang apa yang sebenanrnya terjadi.
Pertama, investasi China, layaknya di berbagai negara lain terutama di Afrika selalu mengkombinasikan perdagangan, hutang, dan investasi. Kombinasi ketiganya, lambat laun akan mengunci pemerintah dalam ketergantungan ekonomi. Kolonialisme ekonomi ini akan bermuara pada satu hal: penguasaan sumber daya alam.
Pemerintah Indonesia bisa mempelajari sejarah investasi ekonomi yang dilakukan oleh China di Afrika. Jelas sekali bahwa China hanya melakukan investasi di sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan sumber daya alam. China membangun jalur kereta dari Tanzania hingga Zambia hanya untuk memfasilitasi ekspor tembaga dari Zambia yang akan dikirim ke China [3], pembangunan infrastruktur yang sebenarnya tidak dalam kepentingan membangun kawasan industri disana.
Selain itu, saat ini terdapat lebih dari 2000 perusahaan asal China yang beroperasi di Afrika [4], dan hampir semuanya bergerak di sektor sumber daya alam dan infrastruktur. Negara-negara di Afrika hanya mendapatkan keuntungan dari pajak konsesi pertambangan. Keuntungan itu sayangnya juga hanya dinikmati oleh elit-elit politik disana sehingga menyebabkan lesunya perekonomian negara.
Selanjutnya China tidak akan pernah tertarik untuk mengerjakan proyek yang bersifat jangka panjang. Hampir semua proyek yang dilakukan di berbagai negara di Afrika bersifat jangka pendek. Sebagian besar klausul perjanjian investasi yang dilakukan memperbolehkan proyek tersebut dikerjakan oleh tenaga kerja asal China. Hal ini dilakukan atas dasar hitung-hitungan bisnis sebagai risiko dari rendahnya nilai proyek yang ditawarkan. Akibatnya, saat ini diperkirakan lebih dari satu juta pekerja asal China keluar masuk silih berganti di berbagai negara di Afrika [5] dan biasanya mereka pulang setelah proyek tersebut selesai. Ironisnya, pekerjaan ini sebenarnya bisa dilakukan oleh penduduk lokal di Afrika. Sehingga mengakibatkan rendahnya penyerapan tenaga kerja, meningkatnya jumlah pengangguran, dan tingginya inflasi.
Gejala ini sebenarnya sudah mulai dirasakan di Indonesia. Selama satu tahun terakhir, total hutang luar negeri Indonesia kepada China melonjak hingga 60 persen [6]. Hampir semua kerja sama investasi Indonesia dan China bergerak di bidang sumber daya alam dan infrastruktur dengan pola kerja sama jangka pendek. Sebut saja diantaranya pembangunan jembatan Suramadu, proyek energi listrik nasional, industri kelapa sawit, pengolahan stainless dan baru-baru ini pembangunan jalur kereta api Jakarta-Bandung.
Di sektor tenaga kerja, kondisinya hampir sama dengan yang terjadi di banyak negara di Afrika, yaitu masuknya tenaga kerja asal China secara silih berganti dalam pengerjaan berbagai proyek jangka pendek di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu, pekerja asal China yang mengerjakan proyek kereta cepat ditangkap TNI karena menerobos masuk wilayah Lanud Halim Perdana Kusuma [7]. Kasus berikutnya, tiga perusahaan di bawah Sinar Mas Grup kedapatan mempekerjakan pekerja kasar berasal dari China [8]. Di Sulawesi Selatan, Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jeneponto, pabrik semen di Kabupaten Barru, serta beberapa perusahaan di Bulukumba dan Pangkep, juga mempekerjakan tenaga kerja asal China. Pada umumnya, adanya tenaga kerja asal China sudah menjadi bagian dari kesepakatan investasi.
Namun demikian, banyak masyarakat yang tidak tahu bahwa kehadiran tenaga kerja asing asal China tersebut ternyata tidak melanggar hukum. Pemerintah Jokowi melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2015 rupanya telah merevisi Permenaker Nomor 12 Tahun 2013, dan memperbolehkan tenaga kerja asing sementara serta tidak mengharuskan pekerja asing memiliki kemampuan berbahasa Indonesia [9].
Tetapi pikirkan dampaknya bagi penyerapan tenaga kerja lokal Indonesia. Seperti halnya yang terjadi di Afrika, kerja sama investasi semacam ini akan menyingkirkan tenaga kerja lokal. Padahal Data Indo-Dapoer menunjukkan, selama 10 tahun terakhir tidak terjadi penurunan yang signifikan jumlah pengangguran di Indonesia. Banyak lulusan sekolah kejuruan yang menganggur. Bahkan yang lebih mengerikan lagi, banyak diantara pengangguran sudah bergelarkan sarjana.
Sedangkan bagi China sendiri. Keuntungan investasi yang dilakukan akan kembali lagi ke China, karena mereka mengoperasikan hampir seluruh proses produksi dan hanya menyisakan sebagian kecil keuntungan bagi Indonesia.
Catatan penting lainnya adalah China hanya akan melakukan investasi di bidang infrastruktur tanpa membangun kawasan industri di sekitarnya. Sebagai pondasi pembangunan, infrastruktur memang diperlukan, tetapi itu tidak akan mampu melahirkan keuntungan apabila tidak diiringi dengan pengembangan kawasan industri di sekitarnya. Masalahnya, hampir sebagian besar sektor industri Indonesia seakan bergerak mundur dengan hanya mengandalkan produk impor yang bahkan juga berasal dari China.
Pada akhirnya Indonesia hanya memiliki opsi sumber daya mineral untuk diperdagangkan dengan China. Catatan perdagangan Indonesia dan China menunjukkan bahwa tiga sektor utama yang di ekspor Indonesia ke China adalah sumber daya mineral yaitu briket, batubara dan sawit [10]. Pemerintah China jelas berkepentingan; memastikan sumber daya alam tersebut harus terus diekspor ke China dalam bentuk mentah dan dibanderol dengan harga murah.
Kondisi ini sangat memprihatinkan. Indonesia terjebak dalam pusaran perdagangan yang sangat tidak menguntungkan. Disamping minimnya opsi barang komoditi ekspor dan rendahnya penyerapan tenaga kerja, investasi yang dilakukan juga akan melemahkan posisi Indonesia dalam melakukan negoisiasi perdagangan.
Meningkatnya ketergantungan ekonomi terhadap China dikhawatirkan juga akan mempengaruhi iklim perpolitikan di tanah air. Meroketnya nilai investasi yang terjadi secara prematur akan berkelindan dengan struktur politik yang pada akhirnya berujung pada menguatnya patronase antara pebisnis China dengan partai penguasa. Mereka yang berkepentingan akan berusaha memastikan agar kerja sama investasi yang dilakukan tersebut terus berlanjut sehingga akan melakukan apa saja untuk menjamin keberlanjutan pemerintah yang berkuasa. Ini bukan isapan jempol belaka. Sejarah membuktikan, tahun 1996 lalu, miliuner asal China, Ng Lap Seng ditangkap karena memberikan donasi illegal dalam jumlah besar kepada Bill Clinton untuk memenangkan pemilu. Penyelidikan menunjukkan adanya keterlibatan Pemerintah China dalam pendanaan kampanye Bill Clinton tersebut [11]
Pada akhir masa jabatan pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi mungkin saja stabil diangka lima persen karena investasi asing akan berpengaruh langsung pada meningkatnya kontribusi terhadap PDB. Tetapi tampaknya pemerintah abai akan satu hal. Pertumbuhan ekonomi tidak serta merta menandakan terjadinya pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang berbasis modal dengan menabrak kepentingan masyarakat kecil, hanya akan berbuah pada pembangunan yang palsu dan menipu. Pembangunan yang sebenar-benarnya justru tidak pernah terjadi.
Padahal bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan harus dipergunakan untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Petuah pendiri bangsa yang perlu dihayati kembali oleh pemerintah yang berkuasa.
dipublish di Rakyat Merdeka, 27 Januari 2017
Referensi:
[1] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3277058/rapbn-2017-tidak-sehat-sri-mulyani-kita-berutang-untuk-bayar-bunga-utang
[2] https://www.merdeka.com/uang/paket-kebijakan-ekonomi-bikin-investasi-china-meningkat-79-persen.html
[3] http://mgafrica.com/article/2015-05-30-after-years-of-neglect-zambia-tanzania-rail-operator-seeks-80m-chinese-upgrade
[4] https://africaupclose.wilsoncenter.org/chinas-investments-in-africa/
[5] http://www.howwemadeitinafrica.com/thoughts-on-chinese-workers-in-africa/
[6] http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/03/21/063000126/Utang.Indonesia.ke.China.Semakin.Melejit.Per.Januari.Sudah.Naik.59.persen
[7] https://www.merdeka.com/peristiwa/ini-kronologi-tni-au-tangkap-5-buruh-china-di-lanud-halim.html
[8] https://www.merdeka.com/peristiwa/sidak-perusahaan-sawit-disnaker-temukan-wna-sebagai-pekerja-kasar.html
[9] http://nasional.sindonews.com/read/1036111/15/ternyata-aturan-pekerja-asing-wajib-bahasa-indonesia-sudah-dicabut-1440319282
[10] http://atlas.media.mit.edu/en/visualize/tree_map/hs92/export/idn/chn/show/2014/
[11] http://www.dailymail.co.uk/news/article-3718929/Pictured-Hillary-Bill-Clinton-Chinese-billionaire-accused-Communist-bid-influence-election.html
Note: Tulisan ini adalah murni pemikiran akademik seputar kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia dan China. Karena maraknya isu SARA yang muncul belakangan ini, perlu ditekankan bahwa tulisan ini tidak bermaksud menyinggung isu SARA.